Minggu, 30 Desember 2012

Akad Gabung antara Sewa dan Jual-Beli


  Al-Ijârah al-Muntahiyah bi al-Tamlîk (IMT)[1]


Sewa - menyewa merupakan bentuk transaksi dan inventasi yang cukup menggiurkan terutama bagi pihak bank yang memiliki banyak modal. Dalam pembahasan fikih kuno tentu belum terlihat jelas inventasi sewa - menyewa tersebut. Semakin berkembangnya zaman, orang semakin kreatif berfikir bagaimana mendapatkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil kecilnya. Penulis akan mencoba menelisik transaksi sewa - menyewa ini berjalan dalam perbankan syariah. Kami bagi pembahasan ini dalam lima bagian; dari transaksi sewa - menyewa dalam perbankan Islam, sejarah, kelebihan, proses, dan telisik syariat tentang keilegalan transaksi tersebut.
A.    Definisi IMT
Muhammad Syafi’i Anthonio[2] secara singkat mendefinisikannya adalah akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan penyewa.[3] Namun penulis memandang defisini ini tidak mani[4], karena akad sewa dan kepemindahan kepemilikan ini bisa saja terjadi dalam satu akad, sedangkan ini tidak boleh dalam Islam, yang sering dikenal al-baiatan fi bai’ah.
Dr. Wahbah Zuhaily[5] mendefinisikan IMT dengan panjang lebar, namun penulis intikan bahwa IMT menurut beliau adalah akad sewa dengan waktu tertentu dan upah yang agak mahal dari biasanya dengan syarat pemberi sewa berjanji akan memindahkan hak kepemilikan barang ke penyewa diakhir masa sewa atau sebelumnya setelah penyewa sudah melunasi semua cicilan barang tersebut dengan akad baru baik dengan jual beli atau hibah.[6]
Dilihat dari definisi di atas, akad ini mirip sekali dengan jual-beli bi al-taqshit[7], jika diakhiri dengan akad baru berupa jual-beli. Hanya saja dalam ba’i bi at-taqshit, barang sudah menjadi milik pembeli karena jual beli sifatnya abadi. Adapun dalam IMT, maka penyewa masih punya hak untuk tidak memiliki kepemilikan barang seumpama dia tidak cocok. Ini tentu akan menyebabkan kerugian baik dari penyewa (yaitu cicilan yang agak besar sebelumnya) atau pemberi sewa (yaitu barang yang sudah dipakai penyewa terkadang sudah dibentuk sesuka penyewa terutama jika barangnya berupa rumah).
Setelah penyewa sudah melunasi banyak cicilan sewaan yang sudah disepakatinya dengan pemberi sewa, maka mereka mengadakan akad baru untuk merubah status barang sewaan tadi menjadi miliki penyewa. Terkadang memakai akad jual beli, baik dengan harga hakiki atau harga simbolis. Tentu harganya tidak seberapa karena sudah dikurangi dengan cicilan-cililan sebelumnya. Atau juga pemindahan kepemilikan barang tersebut dengan akad hibah, sehingga penyewa tidak repot mengeluarkan uang sepeserpun kala itu.
Akad sewa ini berbeda dengan sewa biasa yang dikenal sekarang dengan nama ijârah tasyghiliyyah. Dalam akad sewa biasa upah sewa itu wajar dan tidak semahal pada IMT. Kemudian pemberi sewa pun tidak member janji ke penyewa untuk memindahkan kepemilikan barang ke dia. 
B.     Sejarah IMT
Sejarah akad IMT merujuk ke undang-undang Inggris sekitar 50 tahun[8] silam dimana mereka berinovasi untuk menciptakan akad sewa dan jual-beli. Akad ini terkenal dengan istilah Hire Puchase (Inggris) atau Installment Buyying.[9] Akad ini bertujuan untuk menarik para konsumen yang tidak memiliki modal cukup untuk membeli barang. Yaitu dengan akad sewa dan jual beli angsuran secara bersamaan. Tentunya ini tidak selaras dengan syariat Islam yang melarang adanya dua transaksi dalam satu akad. Mulanya Undang-Undang Mesir menjadikan akad ini seperti jual-beli bi at-taqshit. Kemudian Undang-Undang Prancis justru memisahkan akad sewa dari jual-beli tersebut dengan menjadikannya akad tersendiri di akhir masa sewa.[10]
Guru besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Ali Thaha Rayyan menjelaskan bahwa akad IMT itu tidak muncul dipermukan secara tiba-tiba. Namun ada sebab-sebab dan gradualisasinya. Mulanya para pemilik modal di Barat tidak puas dengan mendapatkan untuk hanya dari upah bulanan sewa atau untung jual-beli. Kemudian mereka memanfaatkan para konsumen yang butuh barang namun kekurangan modal untuk ikut memakai transaksi ini karena tidak harus sekaligus membayar harga barang, karena bisa dicicil dengan jangka waktu lama. Namun harga cicilan tentu jauh mahal dari harga asli dan bahkan terdapat riba di dalamnya. Faktanya di Amerika harga tumah kayu yang kala itu dijual dengan harga 120. 000 dollar kontan, namun dengan akad Installing Buyying, penyewa harus membayar 360.000 dollar walaupun dengan cicilan selama 30 tahun.[11]
Jadi tujuan awal mereka dalam menciptakan akad baru ini adalah ada dua. Pertama, supaya penyewa tidak ber-tasharruf pada barang karena statusnya masih sewaan sampai dia melunasi semua cicilan. Kedua, memperoleh untung sebesar-besarnya dari penyewa karena harga cicilan sangat mahal dan ditambah dengan bunga.
Kemudian setelah itu akad ini disosialisasikan di negara-negara Islam. Para ulama tidak langsung menerima mentah-mentah akad ini. Namun dikaji dulu supaya sesuai dengan syariat Islam dan bisa dipraktekkan di masyarakat terutama di bank-bank Islam. Setelah itu muncullah nama al Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik ( Financial Lease With Purchase Option). Perkumpulan para ulama digelar guna membahas kelegalan akad ini dalam Islam. Akhirnya diadopsilah akad ini dengan polesan-polesan yang islami sehingga menjadi halal.
C.    Model-model Transaksi IMT
Adapun bentuk-bentuk transaksi IMT, menurut Dr. Wahbah Zuhaily ada 9 model, enam dibolehkan sedangkan yang lainnya tidak boleh. Enam model yang dibolehkan adalah sebagai berikut:
1.      Mengadakan akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari pemberi sewa bahwa dia akan menjual barang sewaan ke penyewa diakhir masa sewa setelah dia sudah melunasi semua cicilan. Transaksi semacam ini boleh karena di dalam akad sama sekali tidak berkumpul dua akad.
2.      Mengadakan akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari penyewa bahwa dia akan menghibahkan barang sewaan itu ke penyewa setelah habis masa sewa dan lunas cicilan. Ini juga seperti bentuk pertama, hanya saja akad keduanya berupa hibah.
3.      Mengumpulkan akad sewa dengan jual-beli dengan khiyâr syarat sampai jangka waktu tertentu dan lama. Akad IMT semacam ini boleh menurut ulama yang membolehkan khiyâr sampai jangka lama, yaitu pendapat Imam Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad.
4.      Mengadakan akad sewa kemudian jual beli secara terpisah tanpa ada janji. Ini jelas-jelas boleh karena tidak ada perkumpulan dua akad.
5.      Mengadakan akad sewa di awal kemudian setelah habis masa sewa, pemberi sewa memberikan 3 pilihan ke penyewa yaitu;
-          Membeli barang sewaan dengan harga pasar.
-          Memperpanjang masa sewa.
-          Mengakhiri akad sewa dan mengembalikan barang sewaan ke pemberi sewa.
6.      Berhibah dengan syarat melunasi cicilan. Bentuk ini walaupun aneh karena hibah adalah pemberian dari satu pihak namun ini dibolehkan. Ini terkenal dengan hibah yang di-ta’liq dengan syarat.

Adapun tiga bentuk lain yang tidak dibolehkan adalah;

1.      Mengadakan akad sewa dan jual-beli dalam satu transaksi. Akad ini dilarang karena Nabi tidak membolehkan berkumpulnya dua akad dalam satu transaksi.
2.      Bank membeli barang ke pabrik (misalkan) kemudian menyewakannya ke penjual tadi dengan janji bahwa bank akan menjual atau menghibahkan barang itu ke dia di akhir pelunasan cicilan dan akhir masa sewa. Akad ini dilarang karena menyerupai jual-beli înah[12].
3.      Bank menyewakan barang ke penyewa dan juga menjualnya ke penyewa dengan syarat pelunasan cicilan

D.    Proses Transaksi IMT
Biasanya sebuah pabrik membutuhkan peralatan-peralatan kerja dengan jumlah yang banyak. Namun dana belum mencukupi, sehingga terpaksa untuk lari ke bank misalnya untuk membantu menyediakan peralatan-peralatan tadi melalui kesepakatan akad IMT. Dr. Husain Husen Syahatah[13] menyebutkan 8 langkah untuk melakukan akad IMT ini[14]:

1.      Mengajukan proposal permintaan barang yang dibutuhkan oleh perusahaan atau konsumen dengan dengan isi sifat barang yang dipesan, perkiraan harga, sumber barang, dan lain-lain.
2.      Pihak bank mempelajari terlebih dahulu proposal tersebut.
3.      Tanda tangan dari berbagai pihak bank sebagai tanda persetujuan.
4.      Mengadakan akad dengan perusahaan atau konsumen tadi sebagaimana yang tertuliskan di proposal.
5.      Bank membeli barang sebagaimana permintaan perusahaan atau konsumen.
6.      Mengadakan akad sewa dan penyerahan barang tersebut.
7.      Pengawasan terus-menerus dari bank terhadap barang sewaan tadi.
8.      Di akhir masa sewa dan lunasnya cicilan, pihak bank melaksanakan janjinya berupa pemindahan kepemilihan barang baik dengan hibah atau jual-beli.

E.     Perspektif Syariah Tentang Akad IMT
Para ulama kontemporer banyak yang membolehkan akad IMT ini dengan bentuk-bentuk yang sudah penulis jelaskan di atas. Sebelum menjabarkan alasan-alasan mereka, ada baiknya kami jelaskan dulu beberapa kekhawatiran-khawatiran yang mungkin menjadi sebab akad IMT tidak syar’i. Diantara kekhawatiran-kekhawatiran tersebut adalah;
1.      Apakah janji itu mengikat?
Dalam akad IMT, pemberi sewa menjanjikan ke penyewa bahwa dia akan menyerahan kepemilikan barang sewaan ke penyewa baik dengan hibah atau jual-beli. Mayoritas ulama berpendapat bahwa janji itu mengikat (mulzim) secara agama namun tidak secara peradilan. Namun ulama Hanafiyah menjadikan janji itu mengikat jika disandarkan pada sesuatu. Dalam kasus IMT tentu pemberi menyandarkan janjinya tersebut dengan pelunasan peyewa terhadapa cicilan sewanya. Jadi pihak pemberi sewa wajib melaksanakan janjinya itu baik dilihat dari perspektif agama maupun peradilan. Ulama malikiyah mewajibkan janji harus dilaksanakan jika disandarkan pada pembebanan financial terhadap orang yang diberi janji, dalam hal ini adalah penyewa dibebani cicilan sewaan, maka pemberi janji harus melaksanakan janjinya itu. dan jika pemberi janji tidak melaksanakan janjinya maka dia wajib mengganti ganti rugi atas cicilan yang sudah dibayar penyewa.
2.      Berkumpulnya dua akad dalam satu akad
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Nabi melarang berkumpulnya dua akad dalam satu akad. diantara hadis yang menunjukan hal tersebut adalah sebagai berikut;

(نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة)[15] -
 (من با بيعتين في بيعة فله أوكسهما أة الربا)[16]-
(نهي النبي عن صفقتين في صفقة واحدة)[17] -

 Dari hadis-hadis di atas, jelas sekali bahwa tidak boleh sekaligus bertransaksi dalam satu akad. Namun kenyataannya IMT dengan bentuk yang dihalalkan itu tidak terjadi dua transaksi dalam satu akad itu. akad sewa dan kepemindahan kepemilakannya itu terpisah walaupun dibarengi dengan janji, namun janji bukan termasuk akad.
3.      Mengadakan asuransi terhadap objek sewaan
Untuk menjaga barang sewaan tersebut, biasanya pihak pemberi sewa menansuransikan barang sewaan supaya tetap terjaga. Asuransi tadi biasanya dilaksanakan oleh pemberi sewa, namun jika dilaksanakan oleh penyewa maka itu boleh juga jika atas kerelaan dia. Dan akad asuransi itu sama sekali tidak merusak akad IMT karena di tidak berkaitan dengannya.
4.       Bank menyewakan barang sebelum menerimanya dari pabrik
IMT biasanya terdiri dari tiga pihak; penyewa, bank dan pabrik produksen. Disyaratkan pihak bank sudah menerima barang sewaan dari pabrik untuk selanjutnya disewakan ke konsumen. Karena Nabi sendiri melarang jual beli pada sesuatu yang belum diterima:
 (لا تبع ما ليس عندك)[18].
5.      Jual-beli dengan harga simbolik atau hibah
Setelah penyewa melunasi semua cicilan sewaan, maka pihak bank harus melaksanakan janjinya untuk memindahkan kepemilikan barang sewaan baik denga jual-beli atau hibah. Jual-beli disini bisa dengan harga pasar atau harga simbolik/formalitas. Seperti yang kita tahu bahwa transaksi seperti ini boleh karena manusia bebas untuk mentransaksikan barangnya asalkan tidak ada unsur ekskploitasi atau riba. 
Setelah sudah kami jabarkan beberapa kekhawatiran-kekhawatiran yang mengancam kesyar’ian akad IMT, sekarang mari kita menelisik berbagai alasan-alasan ulama mengapa menhalalkan transaksi IMT dengan bentuk yang kami jelaskan sebelumnya;
-          Akad sewa tidak digabung dalam satu akad dengan akad jual-beli atau hibah sehingga tidak termasuk dalam akad yang dilarang oleh Nabi dimana beliau melarang berkumpulnya dua akad pada satu transaksi.
-          Hukum asal dari akad dan syarat adalah boleh, selagi tidak menyalahi ayat, hadis, kaidah umum, atau hukum asal dari akad tersebut.
-          Adanya janji yang menyertai akad IMT tidak merubah kesyar’iannya. Dan akad inipun tidak ada unsur riba, ketidaktahuan, atau penipuan karena ketika akad sudah dijelaskan beberapa kreteria-kreteria serta unsur-unsur akad secara gamblang.

VI.             Epilog
Akad sewa sebenarnya sangat luas sekali. Kami hanya singgung sekelumit saja. Makalah ini hanya sebagai pengantar bagi siapa yang ingin masuk ke dunia ekonomi Islam terutama pembahasan akad sewa-menyewa. Kami paham sekali bahwa makalah yang ada ini cukup minim untuk menjadi bahan diskusian kita di Pakeis, namun semoga banyak teman-teman yang menambahi dan mengingatkan jika ada yang salah. Semoga bermanfaat bagi kawan-kawan. Wallâhu’alam bi as-shawâb.

Daftar Pustaka

Al-Jaziry, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala al- Madzâhib al- ‘Arba’ah, vol. III,  Dar at-Taqwâ,Syubra al- Khaimah, 2003.
Al-Qurthuby, Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, vol. II, Dar al-Hadits, Kairo,  2004.
Al-Syirbiny, Khatib, Mughnil Muhtâj, vol. IV, Dar al-Ma`rifah, Beirut, cet. III,  2007.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani, cet. VIII, 2004.
Dawwabah, Asyraf Muhammad, Al-Istitsmâr  fi al-Islâm, Dar as-Salam, cet. I , Kairo, 2009.
Guru-guru Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhâya Fiqhiyyah Mu’âshirah, vol. II, Kairo, tp, tt.
            Hamzah, Mahmud, al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawânin al-Fiqhiyyah. tp., tc., th.
Syahatah, Husain Husain, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlîk, tp, Kairo, th.
Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi Bank Islam Teori dan Praktek, Kairo, ICMI, cet. III, 2005.
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, vol. IV, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. XXXII, 2010.


[1] Dalam dunia barat sering dikenal dengan istilah hire-purchase.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio lahir pada 12 Mei 1967 dengan nama asli Nio Gwan Liem Soen Nio dan Nio Sem Nyau. Sekalipun dibesarkan di tengah keluarga Kong Hu Chu dan Kristen, pengembaraannya mencari kebenaran menghantarkannya ke haribaan Islam. Pernah mondok di Pondok Pesantren Sukabumi dan sempat hafal matan al-Fiyah Ibn Malik. Tahun 1990 , beliau lulus dari Fakultas Syariah dan Ekonomi Universitas Yordania serta mengikuti program Islamic Studies di Universitas al-Azhar Kairo. Perintis Bank Muamalat dan Asuransi Takaful ini mendapat Master of Economics dari International Islamic University Malaysia dan melanjutkan program diktoral di Universitas Melbourne. 
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani, 2004, cet. VIII, hal. 118.
[4] Mani’ maksudnya mengeluarkan unsur-unsur yang bukan termasuk dalam sebuah definisi. Selain mani, definisi juga harus jami, yaitu mencakup unsur-unsur dari definisi tersebut.
[5] Dr. Wahbah Zuhaily dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damaskus, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damaskus selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo  yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”,dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamy”.
 Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wal Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fikih, tafsir dan studi-studi Islam.
[6] Dr. Wahbah Zuhaily, al-Muâmalat al-Mâliyah al-Muâshirah, Damaskus, Dar al-Fikr, 2008, cet. VI, hal. 393.
[7] Secara mudah dan singkat definisi dari jual-beli bi at-taqshit adalah jual-beli kredit dengan waktu tertentu dan  harga yang tentunya lebih mahal dari harga kontan.
[8] Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi Bank Islam Teori dan Praktek, Kairo, ICMI,  2005,  cet. III, hal. 215.
[9] Dalam Bahasa Arab diartikan dengan البيع الإيجاري atau الإجارة التمليكية.
[10] Dr. Wahbah Zuhaily, op. cit., hal. 396.
[11] Guru-guru Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah, vol. II, Kairo, tp, tt, hal. 32. 
[12] Untuk lebih jelas model dari jual-beli înah adalah misalkan A menjual pensil ke B dengan harga Rp. 1000  kontan, kemudian B kembali menjual barang itu ke A dengan harga Rp. 1200 namun hutang. Jadi barang masih di tangan A, kemudian A mendapatkan Rp. 1000 yang nantinya dia harus membayar Rp. 1200. Seolah-olah A hanya ingin meminjam uang ke B namun dengan bunga Rp. 200, dan pensilnya itu hanya muslihat untuk jalan melegalkan akadnya.
[13] Salah satu ulama al-Azhar yang fokus pada studi ekonomi Islam. Mengajar di fakultas Perdagangan universitas al-Azhar Kairo. Sering mengikuti berbagai muktamar tentang ekonomi Islam di berbagai negara. Karangannya sudah cukup banyak baik berupa buku maupun masih berupa makalah dalam muktamar.
[14] Dr. Husain Husain Shahatah, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlik, tp, Kairo, tt, hal. 7-9. 
[15] HR. Ahmad, Malik, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi.
[16] HR. Abu Dawud.
[17] HR. Ahmad, al-Bazzar, dan al-Thabrany.
[18] HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah.  

1 komentar: