Al-Ijârah al-Muntahiyah bi al-Tamlîk (IMT)[1]
Sewa - menyewa merupakan bentuk transaksi dan inventasi yang cukup
menggiurkan terutama bagi pihak bank yang memiliki banyak modal. Dalam
pembahasan fikih kuno tentu belum terlihat jelas inventasi sewa - menyewa
tersebut. Semakin berkembangnya zaman, orang semakin kreatif berfikir bagaimana
mendapatkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil kecilnya. Penulis akan
mencoba menelisik transaksi sewa - menyewa ini berjalan dalam perbankan
syariah. Kami bagi pembahasan ini dalam lima bagian; dari transaksi sewa -
menyewa dalam perbankan Islam, sejarah, kelebihan, proses, dan telisik syariat
tentang keilegalan transaksi tersebut.
A.
Definisi IMT
Muhammad Syafi’i Anthonio[2]
secara singkat mendefinisikannya adalah akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan penyewa.[3]
Namun penulis memandang defisini ini tidak mani[4],
karena akad sewa dan kepemindahan kepemilikan ini bisa saja terjadi dalam satu
akad, sedangkan ini tidak boleh dalam Islam, yang sering dikenal al-baiatan
fi bai’ah.
Dr. Wahbah Zuhaily[5]
mendefinisikan IMT dengan panjang lebar, namun penulis intikan bahwa IMT
menurut beliau adalah akad sewa dengan waktu tertentu dan upah yang agak
mahal dari biasanya dengan syarat pemberi sewa berjanji akan memindahkan
hak kepemilikan barang ke penyewa diakhir masa sewa atau sebelumnya setelah
penyewa sudah melunasi semua cicilan barang tersebut dengan akad baru baik
dengan jual beli atau hibah.[6]
Dilihat dari definisi di atas, akad ini mirip sekali dengan
jual-beli bi al-taqshit[7],
jika diakhiri dengan akad baru berupa jual-beli. Hanya saja dalam ba’i bi
at-taqshit, barang sudah menjadi milik pembeli karena jual beli sifatnya
abadi. Adapun dalam IMT, maka penyewa masih punya hak untuk tidak memiliki
kepemilikan barang seumpama dia tidak cocok. Ini tentu akan menyebabkan
kerugian baik dari penyewa (yaitu cicilan yang agak besar sebelumnya) atau
pemberi sewa (yaitu barang yang sudah dipakai penyewa terkadang sudah dibentuk
sesuka penyewa terutama jika barangnya berupa rumah).
Setelah penyewa
sudah melunasi banyak cicilan sewaan yang sudah disepakatinya dengan pemberi
sewa, maka mereka mengadakan akad baru untuk merubah status barang sewaan tadi
menjadi miliki penyewa. Terkadang memakai akad jual beli, baik dengan harga hakiki
atau harga simbolis. Tentu harganya tidak seberapa karena sudah dikurangi
dengan cicilan-cililan sebelumnya. Atau juga pemindahan kepemilikan barang
tersebut dengan akad hibah, sehingga penyewa tidak repot mengeluarkan uang
sepeserpun kala itu.
Akad sewa ini berbeda dengan sewa biasa yang dikenal
sekarang dengan nama ijârah tasyghiliyyah. Dalam akad sewa biasa
upah sewa itu wajar dan tidak semahal pada IMT. Kemudian pemberi sewa pun tidak
member janji ke penyewa untuk memindahkan kepemilikan barang ke dia.
B.
Sejarah IMT
Sejarah akad IMT merujuk ke undang-undang Inggris sekitar 50 tahun[8]
silam dimana mereka berinovasi untuk menciptakan akad sewa dan jual-beli. Akad
ini terkenal dengan istilah Hire Puchase (Inggris) atau Installment Buyying.[9]
Akad ini bertujuan untuk menarik para konsumen yang tidak memiliki modal cukup
untuk membeli barang. Yaitu dengan akad sewa dan jual beli angsuran secara
bersamaan. Tentunya ini tidak selaras dengan syariat Islam yang melarang adanya
dua transaksi dalam satu akad. Mulanya Undang-Undang Mesir menjadikan akad ini
seperti jual-beli bi at-taqshit. Kemudian Undang-Undang Prancis justru
memisahkan akad sewa dari jual-beli tersebut dengan menjadikannya akad
tersendiri di akhir masa sewa.[10]
Guru besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar Prof.
Dr. Ahmad Ali Thaha Rayyan menjelaskan bahwa akad IMT itu tidak muncul
dipermukan secara tiba-tiba. Namun ada sebab-sebab dan gradualisasinya. Mulanya
para pemilik modal di Barat tidak puas dengan mendapatkan untuk hanya dari upah
bulanan sewa atau untung jual-beli. Kemudian mereka memanfaatkan para konsumen
yang butuh barang namun kekurangan modal untuk ikut memakai transaksi ini
karena tidak harus sekaligus membayar harga barang, karena bisa dicicil dengan
jangka waktu lama. Namun harga cicilan tentu jauh mahal dari harga asli dan
bahkan terdapat riba di dalamnya. Faktanya di Amerika harga tumah kayu yang
kala itu dijual dengan harga 120. 000 dollar kontan, namun dengan akad
Installing Buyying, penyewa harus membayar 360.000 dollar walaupun dengan
cicilan selama 30 tahun.[11]
Jadi tujuan awal mereka dalam menciptakan akad baru ini adalah ada
dua. Pertama, supaya penyewa tidak ber-tasharruf pada barang
karena statusnya masih sewaan sampai dia melunasi semua cicilan. Kedua,
memperoleh untung sebesar-besarnya dari penyewa karena harga cicilan sangat
mahal dan ditambah dengan bunga.
Kemudian setelah itu akad ini disosialisasikan di negara-negara
Islam. Para ulama tidak langsung menerima mentah-mentah akad ini. Namun dikaji
dulu supaya sesuai dengan syariat Islam dan bisa dipraktekkan di masyarakat
terutama di bank-bank Islam. Setelah itu muncullah nama al Ijarah
al-Muntahiyah bi at-Tamlik ( Financial Lease With Purchase Option).
Perkumpulan para ulama digelar guna membahas kelegalan akad ini dalam Islam.
Akhirnya diadopsilah akad ini dengan polesan-polesan yang islami sehingga
menjadi halal.
C.
Model-model Transaksi IMT
Adapun
bentuk-bentuk transaksi IMT, menurut Dr. Wahbah Zuhaily ada 9 model, enam
dibolehkan sedangkan yang lainnya tidak boleh. Enam model yang dibolehkan
adalah sebagai berikut:
1.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari pemberi sewa bahwa dia
akan menjual barang sewaan ke penyewa diakhir masa sewa setelah dia sudah
melunasi semua cicilan. Transaksi semacam ini boleh karena di dalam akad sama
sekali tidak berkumpul dua akad.
2.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari penyewa bahwa dia akan
menghibahkan barang sewaan itu ke penyewa setelah habis masa sewa dan lunas
cicilan. Ini juga seperti bentuk pertama, hanya saja akad keduanya berupa
hibah.
3.
Mengumpulkan
akad sewa dengan jual-beli dengan khiyâr syarat sampai jangka waktu
tertentu dan lama. Akad IMT semacam ini boleh menurut ulama yang membolehkan khiyâr
sampai jangka lama, yaitu pendapat Imam Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad.
4.
Mengadakan
akad sewa kemudian jual beli secara terpisah tanpa ada janji. Ini jelas-jelas
boleh karena tidak ada perkumpulan dua akad.
5.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian setelah habis masa sewa, pemberi sewa memberikan 3
pilihan ke penyewa yaitu;
-
Membeli
barang sewaan dengan harga pasar.
-
Memperpanjang
masa sewa.
-
Mengakhiri
akad sewa dan mengembalikan barang sewaan ke pemberi sewa.
6.
Berhibah
dengan syarat melunasi cicilan. Bentuk ini walaupun aneh karena hibah adalah
pemberian dari satu pihak namun ini dibolehkan. Ini terkenal dengan hibah yang
di-ta’liq dengan syarat.
Adapun tiga bentuk lain yang tidak
dibolehkan adalah;
1.
Mengadakan
akad sewa dan jual-beli dalam satu transaksi. Akad ini dilarang karena Nabi
tidak membolehkan berkumpulnya dua akad dalam satu transaksi.
2.
Bank
membeli barang ke pabrik (misalkan) kemudian menyewakannya ke penjual tadi
dengan janji bahwa bank akan menjual atau menghibahkan barang itu ke dia di
akhir pelunasan cicilan dan akhir masa sewa. Akad ini dilarang karena
menyerupai jual-beli înah[12].
3.
Bank
menyewakan barang ke penyewa dan juga menjualnya ke penyewa dengan syarat
pelunasan cicilan
D.
Proses Transaksi IMT
Biasanya sebuah pabrik membutuhkan peralatan-peralatan kerja dengan
jumlah yang banyak. Namun dana belum mencukupi, sehingga terpaksa untuk lari ke
bank misalnya untuk membantu menyediakan peralatan-peralatan tadi melalui
kesepakatan akad IMT. Dr. Husain Husen Syahatah[13]
menyebutkan 8 langkah untuk melakukan akad IMT ini[14]:
1.
Mengajukan
proposal permintaan barang yang dibutuhkan oleh perusahaan atau konsumen dengan
dengan isi sifat barang yang dipesan, perkiraan harga, sumber barang, dan
lain-lain.
2.
Pihak
bank mempelajari terlebih dahulu proposal tersebut.
3.
Tanda
tangan dari berbagai pihak bank sebagai tanda persetujuan.
4.
Mengadakan
akad dengan perusahaan atau konsumen tadi sebagaimana yang tertuliskan di
proposal.
5.
Bank
membeli barang sebagaimana permintaan perusahaan atau konsumen.
6.
Mengadakan
akad sewa dan penyerahan barang tersebut.
7.
Pengawasan
terus-menerus dari bank terhadap barang sewaan tadi.
8.
Di
akhir masa sewa dan lunasnya cicilan, pihak bank melaksanakan janjinya berupa
pemindahan kepemilihan barang baik dengan hibah atau jual-beli.
E.
Perspektif Syariah Tentang Akad IMT
Para ulama kontemporer banyak yang membolehkan akad IMT ini dengan
bentuk-bentuk yang sudah penulis jelaskan di atas. Sebelum menjabarkan
alasan-alasan mereka, ada baiknya kami jelaskan dulu beberapa kekhawatiran-khawatiran
yang mungkin menjadi sebab akad IMT tidak syar’i. Diantara
kekhawatiran-kekhawatiran tersebut adalah;
1.
Apakah
janji itu mengikat?
Dalam akad IMT, pemberi sewa menjanjikan ke penyewa bahwa dia akan
menyerahan kepemilikan barang sewaan ke penyewa baik dengan hibah atau
jual-beli. Mayoritas ulama berpendapat bahwa janji itu mengikat
(mulzim) secara agama namun tidak secara peradilan. Namun ulama Hanafiyah
menjadikan janji itu mengikat jika disandarkan pada sesuatu. Dalam kasus IMT
tentu pemberi menyandarkan janjinya tersebut dengan pelunasan peyewa terhadapa
cicilan sewanya. Jadi pihak pemberi sewa wajib melaksanakan janjinya itu baik
dilihat dari perspektif agama maupun peradilan. Ulama malikiyah mewajibkan
janji harus dilaksanakan jika disandarkan pada pembebanan financial terhadap
orang yang diberi janji, dalam hal ini adalah penyewa dibebani cicilan sewaan,
maka pemberi janji harus melaksanakan janjinya itu. dan jika pemberi janji
tidak melaksanakan janjinya maka dia wajib mengganti ganti rugi atas cicilan
yang sudah dibayar penyewa.
2.
Berkumpulnya
dua akad dalam satu akad
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Nabi melarang berkumpulnya
dua akad dalam satu akad. diantara hadis yang menunjukan hal tersebut adalah
sebagai berikut;
(نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن بيعتين في
بيعة)[15] -
(نهي النبي عن صفقتين في صفقة واحدة)[17] -
Dari hadis-hadis di atas, jelas sekali bahwa
tidak boleh sekaligus bertransaksi dalam satu akad. Namun kenyataannya IMT dengan
bentuk yang dihalalkan itu tidak terjadi dua transaksi dalam satu akad itu.
akad sewa dan kepemindahan kepemilakannya itu terpisah walaupun dibarengi
dengan janji, namun janji bukan termasuk akad.
3. Mengadakan asuransi terhadap objek sewaan
Untuk menjaga barang sewaan tersebut,
biasanya pihak pemberi sewa menansuransikan barang sewaan supaya tetap terjaga.
Asuransi tadi biasanya dilaksanakan oleh pemberi sewa, namun jika dilaksanakan
oleh penyewa maka itu boleh juga jika atas kerelaan dia. Dan akad asuransi itu
sama sekali tidak merusak akad IMT karena di tidak berkaitan dengannya.
4. Bank
menyewakan barang sebelum menerimanya dari pabrik
IMT biasanya terdiri dari tiga pihak;
penyewa, bank dan pabrik produksen. Disyaratkan pihak bank sudah menerima barang
sewaan dari pabrik untuk selanjutnya disewakan ke konsumen. Karena Nabi sendiri
melarang jual beli pada sesuatu yang belum diterima:
(لا تبع ما ليس
عندك)[18].
5. Jual-beli dengan harga simbolik atau hibah
Setelah penyewa melunasi semua cicilan
sewaan, maka pihak bank harus melaksanakan janjinya untuk memindahkan
kepemilikan barang sewaan baik denga jual-beli atau hibah. Jual-beli disini
bisa dengan harga pasar atau harga simbolik/formalitas. Seperti yang kita tahu
bahwa transaksi seperti ini boleh karena manusia bebas untuk mentransaksikan
barangnya asalkan tidak ada unsur ekskploitasi atau riba.
Setelah sudah kami jabarkan beberapa
kekhawatiran-kekhawatiran yang mengancam kesyar’ian akad IMT, sekarang mari
kita menelisik berbagai alasan-alasan ulama mengapa menhalalkan transaksi IMT
dengan bentuk yang kami jelaskan sebelumnya;
-
Akad sewa tidak digabung dalam satu akad dengan akad
jual-beli atau hibah sehingga tidak termasuk dalam akad yang dilarang oleh Nabi
dimana beliau melarang berkumpulnya dua akad pada satu transaksi.
-
Hukum asal dari akad dan syarat adalah boleh, selagi
tidak menyalahi ayat, hadis, kaidah umum, atau hukum asal dari akad tersebut.
-
Adanya janji yang menyertai akad IMT tidak merubah
kesyar’iannya. Dan akad inipun tidak ada unsur riba, ketidaktahuan, atau
penipuan karena ketika akad sudah dijelaskan beberapa kreteria-kreteria serta
unsur-unsur akad secara gamblang.
VI.
Epilog
Akad sewa sebenarnya sangat luas sekali.
Kami hanya singgung sekelumit saja. Makalah ini hanya sebagai pengantar bagi
siapa yang ingin masuk ke dunia ekonomi Islam terutama pembahasan akad
sewa-menyewa. Kami paham sekali bahwa makalah yang ada ini cukup minim untuk
menjadi bahan diskusian kita di Pakeis, namun semoga banyak teman-teman yang
menambahi dan mengingatkan jika ada yang salah. Semoga bermanfaat bagi
kawan-kawan. Wallâhu’alam bi as-shawâb.
Daftar Pustaka
Al-Jaziry, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala al- Madzâhib al- ‘Arba’ah,
vol. III, Dar at-Taqwâ,Syubra al-
Khaimah, 2003.
Al-Qurthuby, Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyat
al-Muqtashid, vol. II, Dar al-Hadits, Kairo, 2004.
Al-Syirbiny, Khatib, Mughnil Muhtâj, vol. IV, Dar
al-Ma`rifah, Beirut, cet. III, 2007.
Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema
Insani, cet. VIII, 2004.
Dawwabah,
Asyraf Muhammad, Al-Istitsmâr fi
al-Islâm, Dar as-Salam, cet. I , Kairo, 2009.
Guru-guru
Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhâya Fiqhiyyah Mu’âshirah,
vol. II, Kairo, tp, tt.
Hamzah,
Mahmud, al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawânin al-Fiqhiyyah. tp., tc., th.
Syahatah, Husain Husain, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlîk, tp, Kairo, th.
Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi
Bank Islam Teori dan Praktek, Kairo, ICMI, cet. III, 2005.
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, vol. IV,
Dar al-Fikr, Damaskus, cet. XXXII, 2010.
[1]
Dalam dunia barat sering dikenal dengan istilah hire-purchase.
[2]
Muhammad Syafi’i Antonio lahir pada 12 Mei 1967 dengan nama asli Nio Gwan Liem
Soen Nio dan Nio Sem Nyau. Sekalipun dibesarkan di tengah keluarga Kong Hu Chu
dan Kristen, pengembaraannya mencari kebenaran menghantarkannya ke haribaan
Islam. Pernah mondok di Pondok Pesantren Sukabumi dan sempat hafal matan al-Fiyah
Ibn Malik. Tahun 1990 , beliau lulus dari Fakultas Syariah dan Ekonomi
Universitas Yordania serta mengikuti program Islamic Studies di Universitas
al-Azhar Kairo. Perintis Bank Muamalat dan Asuransi Takaful ini mendapat Master
of Economics dari International Islamic University Malaysia dan melanjutkan
program diktoral di Universitas Melbourne.
[3]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta,
Gema Insani, 2004, cet. VIII, hal. 118.
[4]
Mani’ maksudnya mengeluarkan unsur-unsur yang bukan termasuk dalam
sebuah definisi. Selain mani, definisi juga harus jami, yaitu
mencakup unsur-unsur dari definisi tersebut.
[5]
Dr. Wahbah Zuhaily dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damaskus,
Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya,
Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di
Damaskus selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya,
yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di
Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang
bersamaan. Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh
gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”,dan
merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral
yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh
al-Islamy”.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wal Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fikih, tafsir dan studi-studi Islam.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wal Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fikih, tafsir dan studi-studi Islam.
[6]
Dr. Wahbah Zuhaily, al-Muâmalat al-Mâliyah al-Muâshirah, Damaskus, Dar
al-Fikr, 2008, cet. VI, hal. 393.
[7]
Secara mudah dan singkat definisi dari jual-beli bi at-taqshit adalah
jual-beli kredit dengan waktu tertentu dan
harga yang tentunya lebih mahal dari harga kontan.
[8]
Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi Bank Islam
Teori dan Praktek, Kairo, ICMI,
2005, cet. III, hal. 215.
[10]
Dr. Wahbah Zuhaily, op. cit., hal. 396.
[11]
Guru-guru Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhaya Fiqhiyyah
Mu’ashirah, vol. II, Kairo, tp, tt, hal. 32.
[12]
Untuk lebih jelas model dari jual-beli înah
adalah misalkan A menjual pensil ke B dengan harga Rp. 1000 kontan, kemudian B kembali menjual barang itu
ke A dengan harga Rp. 1200 namun hutang. Jadi barang masih di tangan A,
kemudian A mendapatkan Rp. 1000 yang nantinya dia harus membayar Rp. 1200.
Seolah-olah A hanya ingin meminjam uang ke B namun dengan bunga Rp. 200, dan
pensilnya itu hanya muslihat untuk jalan melegalkan akadnya.
[13]
Salah satu ulama al-Azhar yang fokus pada studi ekonomi Islam. Mengajar di
fakultas Perdagangan universitas al-Azhar Kairo. Sering mengikuti berbagai
muktamar tentang ekonomi Islam di berbagai negara. Karangannya sudah cukup
banyak baik berupa buku maupun masih berupa makalah dalam muktamar.
[14]
Dr. Husain Husain Shahatah, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlik, tp,
Kairo, tt, hal. 7-9.
[15]
HR. Ahmad, Malik, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi.
[16]
HR. Abu Dawud.
[17]
HR. Ahmad, al-Bazzar, dan al-Thabrany.
[18] HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu
Majah.
saasasssss
BalasHapus