Kajian Reguler Mingguan
Ar-Risalah (Fokus Ushul Fikih) PCIM Mesir, level II
Rabu,
26 September 2012 M/18 Dzulqa’dah 1433 H
Teori dan Praktek Penalaran Lafal Musyatarak
dan Mu`awwal dalam ‘Wahyu Langit’
Oleh: Abu Khair Bedi’uzzaman*
I.
Prolog
Pembahasan
dalâlatul alfazh (cara memahahi khitab langit) adalah sepertiga pembahasan ushul fikih.
Duaseperti lagi ada pada pembahasan adillatul ahkâm dan ijtihad. Dan
pembahasan dalalatul alfazh inilah yang paling pokok dan inti untuk
menjadi bekal seorang mujtahid memahami wahyu-wahyu langit yang terjemahkan
dalam ayat-ayat dan hadis-hadis.
Sudah
dibahas pada kajian tercinta kita ar-Risalah pada 3 pertemuan lampau tentang
lafal ‘amm, khash dan takhshish. Untuk lebih
menyempurnakan tema ini maka penulis ingin menjelaskan apa itu yang disebut
lafal musytarak dan mu`awwal. Dan bagaimanakah posisinya dari
macam-macam lafal yang lain? Mungkin pembahasan kami belum terlalu menyentuh
dengan dialektika yan sedang berkembang di dunia ke-ushul fikih-an karena
memang kami masih pemula. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf
al-Qaradhawi[1],
dalam kitabnya Taisir al-Fiqh lil Muslim al-Mua’shir bahwa ushul fikih
itu tidak semuanya itu qath’I dan tidak menerima rekonstruksi sama sekali. Tapi
ushul fikih itu seperti fikih yang menerima ijtihad baru untuk menjawab
problematika kehidupan dan semakin komplek.[2]
Perlu
diketahu bahwa menurut mayoritas Hanafiyah, lafal musytarak dan mu`awwal
itu masuk ke bagian lafal khâsh sehingga mereka menjadikan pembahasannya
di tema ini. Sedangkan ulama lain memandang itu termasuk lafal ‘âmm dan
maka diindependenkanlah pembahasannya. Untuk itu diharapkan pambaca jeli dalam
membaca literatur ushul fikih terutama di Kairo ini banyak sekali buku-buku
ushul fikih dengan penulis yang notabene Hanafiyah, seperti muqarrar
kajian kita Ushul fiqh al-Islami karangan Ulama Damaskus Dr. Wahbah
Zuhaily[3]. Penulis tidak bermaksud
fanatik, namun khawatir nanti ada kerancuan pemahaman bagi yang tidak jeli. Dan
apa juga salahnya kita memahami ushul fikih mereka, toh dalam berfikih
pun kita mempelajari fatwa-fatwa mereka. Untuk lebih meluaskan wacana, maka
penulis menyarankan bagi pembaca untuk mengimbangi intektual kita dalam ilmu
ushul fikih dengan kitab-kitab ushul fikih karangan ulama syafi’iyah atau
metode Mutakallimin seperti al- Mahsul karangan imam Fahruddin ar-Razi[4], Nihayatus Sul
syarahnya imam Isnawi dari Minhajul Wushul karangan imam Jalaluddin
al-Baidhawi, dan yang agak mudah bahasanya adalah karangan gurunya Mufti Mesir
sekarang yaitu Muhammad Abun Nur Zuhair yaitu Ushul al-Fiqh.
Akan
lebih baik lagi penulis sarankan bahwa kitab-kitab ushul fikih itu berbeda-beda
dalam corak penulisannya. Mungkin kalau kita belajar di Kuliah, hanya ada 3;
Mutakallimin, Hanafiyah, dan Gabungan dari keduanya. Namun ada tambahan lagi
yaitu metode Takhrijul Furu` ‘alal Ushul, Maqashid asy-Syari’ah,
dan Metode Kontemporer. Bahkan sekarang sudah ada kitab ushul fikih yang
disusun seperti buku-buku perundangan, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad
Zaki Abdul Barr dalam kitabnya Taqnin Ushul al-Fiqh.
Dalam
makalah mungil ini akan penulis bahas tentang definisi, macam, contoh, hukum,
dan aplikasi pemakaian musytarak dan mu`awwal supaya kita lebih
memahami karakteristik masing-masing mazhab dalam meriset dalil-dalil hukum.
Semoga kita ditakdirkan menjadi ulama mujtahidin yang ikhlas beramal dengan
ilmu-ilmu yang kita dapatkan. Amin.
II.
Pembahasan
1.
A.
Klasifikasi dan Definisi Musytarak
Musytarak secara etimologi dari kata syirkah
atau syarikah yang artinya percampuran dua komponen.[5] Sebelum penulis
menjelaskan definisi musytarak secara terminologi, perlu diketahui bahwa lafal
musytarak itu ada dua macam, yaitu musytarak lafzhi dan ma’nawi. [6]
a.
Musytarak Lafzhi adalah lafal yang diletakkan untuk menunjukan dua
makna atau lebih. Contohnya lafal (العين) yang
memiliki makna mata kepala, matahari, mata air, mata-mata, barang dagangan, dan
emas.[7] Dr. Muhammad Zaki Abdul
Barr memberikan perbedaan antara musytarak dan ‘amm. Lafal ‘amm itu mencakup
semua afradnya namun dengan satu makna, tapi musytarak dengan macam-macam arti.
Sedangkan perbedaannya dengan lafal muthlak adalah kalau musytarak itu umum dan
tidak diketahui mana yang dimaksud kecuali yang berbicara, sedangkan muthlak
itu baik yang bicara atau pendengar itu tidak tahu mana yang diinginkan.[8]
b. Musytarak
ma’nawi adalah
lafal yang diletakkan untuk menunjukan qadrun musytarak (titik temu) di
atas arti lafal itu.[9] Contohnya lafal manusia,
lafal ini diletakkan untuk menunjukan dan mencakup semua makhluk hidup yang
layak dinamakan manusia baik laki-laki atau perempuan. Lafal manusia mencakup
Anam, Sari, Fahruddin dan lain-lain. Di antara dua macam musytarak ini, musytarak
lafzhilah yang akan kita bahas.
B.
Sebab-sebab
Munculnya Lafal Musytarak
Lafal
musytarak tidak muncul begitu saja, namun ada faktor-faktor yang
menjadikan sebuah lafal menjadi musytarak. Di antara faktor-faktor
tersebut adalah;[10]
1. Perbedaan
peletakkan dari masing-masing kabilah Arab.
Terkadang
ada satu kata yang setiap kabilah meletakkannya untuk arti tertentu berbeda
dengan kabilah lain di Arab. Misalkan kabilah Quraisy meletakan kata العين untuk arti mata kepala, kemudian kabilah
Hudzail justru meletakkannya untuk arti mata air dan seterusnya.
2. Perkembangan
makna dalam pemakaian lafal itu.
Terkadang
ada satu lafal diletakkan untuk menunjukan dua arti, dan ini yang disebut juga
musytarak ma’nawi. Kemudian orang-orang lupa akan arti asal dari lafal itu
sehingga generasi berikutnya menyangka bahwa lafal itu termasuk dari macam
lafal musytarak lafzhi. Misalnya kata al-maula yang diletakkan untuk arti
penolong kemudian mengalami penyempitan makna menjadi musytarak lafzhi yang
artinya budak dan majikan/tuan.
3. Sering
berganti-ganti arti antara arti yang hakikat (asal) dan yang majaz.
Misalnya
jika ada lafal yang dipakai sebagai arti majaz namun karena sering dipakai
sehingga terkenal dan seolah menjadi arti hakikatnya.
4. Sering
berganti-ganti antara arti aslinya (hakikat) dan arti secara istilah urf.
Sebuah
lafal yang asalnya diletakkan untuk arti tertentu kemudian dalam pengertian
istilah urf dipakai untuk arti lain, sehingga menyababkan percampuran makna
dalam satu kata ini.
C.
Hukum
(Penunjukan makna) Musytarak
Sudah penulis bahas di atas bahwa
kata musytarak memiliki makna lebih dari satu, jika dalam al-Qur’an atau
Hadis menyebutkan kata musytarak, maka arti manakah yang harus kita ambil?
Ataukah kita bebas memilih antara dua arti tersebut? Para ulama[11] sudah
menetapkan bahwa jika terdapat kata musytarak maka harus
mengambil/memakai arti yang paling unggul dan tidak boleh mengambil dua-duanya
atau lebih sehingga seperti kata umum.[12] Karena
isytirak adalah bukan asal dari makna sebuah kata. Namun jika ternyata masih
kuat mengandung makna isytirak maka seorang mujtahid disinilah harus mengerahkan sekuat kemampuannya untuk
menentukan antara arti-arti isytirak itu.[13]
Jika
disebutkan dalam ‘wahyu langit’ (al-Qur’an atau hadis) satu kata yang
mengandung dua arti atau lebih, yaitu arti
bahasa dan istilah syar’i, maka yang dipakai adalah arti istilah syar’I
karena kata tersebutsedang digunakan pada nash syariat. Misalkan kata shalat,
disebutkan dalam ayat ( وأقيموا الصلوة)
maka maksudnya adalah shalat secara syar’I yang didahului dengan takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam, dan bukan diartikan doa.
Kalau
dalam wahyu langit ada dua kata atau lebih mengandung arti secara bahasa maka
jika ada qarinahnya yang menunjukan arti salah satu arti tersebut maka kita
gunakan qarinah itu. Qarinah bias berupa lafzhiyah atau ma’nawiyah.
Misal
kata yang mengandung musytarak dan ditentukan makna salah satunya dengan qarinah
lafzhiyah adalah kata al-qur’u yang mempunyai arti suci dan haidh.
Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah memakai qarinah lafzhiyah yaitu dari kata ثلاثة (adad).
Jika adadnya mu`annats maka ma’dud-nya harus mudzakar maka mau tidak mau
arti dari qur’un di sini harus thuhr (suci) karena haidhah itu
mu`annats.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat makna al-qur`u
di sini adalah haidh. Mereka juga berdalil dengan qarinah lafzhiyah
yaitu bahwa kata ثلاثة itu
khas yang kata khas menunjukkan arti secara pasti bahwa lamanya haidh itu 3 quru`
tanpa ada kurang atau lebih dan hal ini tidak terealisasikan kecuali jika makna
qur`u disini adalah haidh.
Perbedaan ulama dalam mengarahkan qarinah akan
menyebabkan hukum yang dihasilkan para ulama itu berbeda-beda sebagaimana kita
lihat contoh di atas. Ada juga contoh kata musytarak yang memilik
qarinah namun tidak ada perselisihan antara ulama yaitu lafal al-mahidh.
Lafal al-mahidh punya arti tempat haidh atau waktu keluarnya darah
haidh. Dalam surat al-Baqarah ayat 222 yaitu;
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd “]Œr& (#qä9Í”tIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# ’Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]ø‹ym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÎ/º§qG9$# =Ïtä†ur šúïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya,” Mereka
bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Ayat di atas menyuruh para
suami menjauhi perempuan pada al-mahidh, kalau diartikan zaman keluarnya
darah haidh maka tidak cocok karena qarinah haliyah-nya yaitu kondisi
orang Arab dulu itu tidak menjauhi istri-istri mereka di kala haidh, maka arti
yang tepat adalah larangan mendekati tempat keluarnya darah haidh alias
larangan menggauli istri di kala dia haidh.
Kalau sudah ada qarinahnya maka mudah menentukan arti
yang benar dari dua atau lebih kata musytarak, dan sekarang
pertanyaannya jika kata musytarak itu diucapkan tanpa ada qarinah yang
menunjukkan arti salah satunya, bagaimana kita mengartikannya? Apakah kita
memakai semua arti musytarak itu? Atau tawaqquf menunggu ada dalil yang
mengkhususkannya? Dalam hal ini para ulama berselisih menjadi 3 golongan;
Pendapat pertama dari mayoritas Hanafiyah, sebagian
Syafi’iyah yaitu imam al-Amidi, mereka mengatakkan harus tawaqquf sampai
ada dalil yang mengkhususkan salah satu makna kata musytarak itu. Alasan mereka
karena kata musytarak asalnya itu tidak diletakkan untuk menunjukkan semua
arti-arti tersebut. Pendapat inilah yang mengantkan bahwa musytarak termasuk
dari kata khusus.
Pendapat kedua adalah dari mayoritas Syafi’iyah,
al-Qadhi Abdul Jabbar, Ibnul Hajib, imam Malik, mereka berbeda 180’ dari
pendapat pertama. Mereka erpendapat bahwa kata musytarak itu termasuk kata umum
sehingga jika tidak ada qarinah yang menentukan salah satu makna itu maka semua
makna itu dipakai. Kubu ini berdalil dengan surat al-Ahzab ayat 56;
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áム’n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmø‹n=tã (#qßJÏk=y™ur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ
Artinya, “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah. “
Arti bershalawat itu
memiliki dua makna, yaitu minta ampunan dan member ampun. Pada ayat di atas,
arti shalawat dari malaikat adalah meminta ampun kepada Allah untuk nabi
Muhammad Saw. Sedangkan arti bershalwatnya Allah kepada Nabi adalah member ampun
kepadanya. Dua arti yang berbeda di atas menunjukan kata shalwat itu kata musytarak
dan dua-duanya dipakai dalam satu kalimat maka boleh memakai dua arti atau
lebih dari musytarak dalam satu kalimat.
A.
Defininisi
Mu`awwal
Mu`awwal[15] dari kata âla-yaûlu yang
artinya kembali. Sedangkan secara terminologi, maksud mu`awwal disini adalah
kata yang rajih untuk diambil/dipakai dari arti-arti kata musytarak
dengan pendangan yang ghalib[16].[17]
B.
Ta`wil[18]
Musytarak
Proses dan
praktek untuk mencari arti pilihan dari arti-arti kata musytarak itu adalah
yang disebut ta`wil al-musytarak. Dr. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan
bahwa ulama Hanafiyah menjelaskan ada 4 cara yaitu;
1. Pentakwilan
lafal musytarak dari segi lafazhnya. Contohnya kata al-qur’u yang
memiliki arti berkumpul seperti al-qur’an dan makna berpindah. Kemudian arti
berkumpul diungulkan karena membantu untuk menunjukkan makna haidh yaitu bahwa
haidh itu adalah berumpullnya darah dalam rahim wanita.
2. Dengan melihat qarinah
sibaq atau kata-kata sebelum kata musytarak itu. Misalnya kata tsalatsata
quru’. Jika diartikan thuhr maka suci disini tidak genap 3 quru’ karena
seumpama wanita ditalak dalam kondisi suci maka penghitungan 3 suciannya itu
tidak genap, tapi 2,5 quru’. Namun jika memakai makna haidh maka akan genap
karena walaupun ada sedikit waktu haidh yang terhitung, itu dimaafkan karena
haidh tidak dibagi-bagi. Makanya iddahnya budak itu 2 haidh walaupun padahal
bisa dibagi menjadi 1,5 haidh.
3. Melihat siyaq/konteks
kalmat. Contohnya surat Fathir ayat 35;
ü“Ï%©!$# $oY¯=ymr& u‘#yŠ ÏptB$s)ßJø9$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù Ÿw $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò=|ÁtR Ÿwur $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò>qäóä9 ÇÌÎÈ
Artinya, “Yang menempatkan Kami dalam tempat yang
kekal (surga) dari karunia-Nya; didalamnya Kami tiada merasa lelah dan tiada
pula merasa lesu".
Kata أحلنا
bisa
diartikan turun atau halal, namun kata-kata setelahnya yaitu دار المقامة menjadi qarinah bahwa maksudnya turun dan
bukan halal.
4. Dalil Ekstern, maksudnya dalil yang sama sekali tidak
satu kalimat dimana kata musytarak itu disebutkan. Contohnya surat al-Baqarah
ayat 228 yaitu;
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿ
Artinya, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”.
Quru` pada ayat di atas
memilik makna suci dan haidh, untuk menentukkan salah satu maknanya adalah
dengan mencari dalil ekstern yaitu hadis Fathimah bin Hubaisy dimana Nabi
bersabda kepadanya yang artinya, “ Tinggalkanlah shalat di hari-hari haidhmu”.
C.
Hukum
Mu`awwal
Wajib
hukumnya memakai arti kata mu`awwal walaupun dimungkinkan salah. Dan jika
memang setelah itu Nampak salah maka wajib meralat kembali. Misalnya jika
seorang suami mengatakan ke istrinya, “Kamu ba`in”. arti ba`in bisa thalak
ba`in atau pisah tubuh saja. Jika kondisi suami memang ingin mentalak maka jatuhlah
talak bainunah. Namun jika tidak maka artinya pisah jasad saja.
III.
Kesimpulan
dan Epilog
Pembahasan
musytarak dan mu`awwal itu sangat penting sekali dalam berinteraksi dengan
wahyu-wahyu langit atau nash-nash syariat baik berupa ayat atau hadis. Seeorang
mujtahid dituntut untuk jeli dan teliti dalam menentukan arti dari
masing-masing kata yang muncul dalam kalam agama. Perbedaan metode nalar
ijtihad akan rentan menjadi bedanya hokum yang dihasilkan.
Dengan
memahami metode masing-masing mazhab, kita akan semakin berlapang dada dn tidak
mudah mengatakan mazhab lain itu bodoh. Dan juga akan menjauhkan kita dari
virus fanatik. Mengetahui metode ini pun akan menyuburkan pintu-pintu ijtihad.
Bukan hanya mengandalkan buku-buku fikih ulama terdahulu dalam menentukan
hokum-hukum kontemporer sebagaimana kita sering dengar dalam forum-forum
bahtsul masa`il.
Semoga
pemaparan singkat dari pemakalah cukup membuka wacana para pembaca tentang
lafal musytarak dan mu`awwal. Semoga bisa menjadi batu loncatan untuk lebih mendalami
lagi tema-tema yang berkaitan dengan dalalatul alfazh yang menjadi sepertitiga
pembahasan ushul fikih. Kritik dan saran sangat ditunggu-tunggu oleh penulis
dengan catatan membangun. Wallâhu a’lam bish shawâb.
Daftar
Pustaka
Abdul Barr, Muhammad Zaki , Taqnîn Ushûl
al-Fiqh, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, tc, 2006.
Ali, Muhammad Abdul Athi
Muhammad, Mabâhits Ushâliyah fi Taqsîmâtil Alfâzh, Kairo, Dar al-Hadis,
tc, 2007.
Al-Isnawi, Jamaluddin Abdurrahim bin
al-Hasan, Nihâyatus Sûl fi Syarhi Minhâjil Wushûl ilâ Ilmi Ushûl,
vol. I, Kairo, al-Maktabah at-Taufiqiyah, tc, 2009.
Al-Khudhari,
Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Hadis, tc, 2003.
al-Qaradhawi, Yusuf, Taisîr al-Fiqh lil
Muslim al-Mu’âshir, Kairo, Maktabah Wahbah, cet. II, 2004.
Az-Zuhaili,
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, vol. 1, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 17,
2009.
Az-Zurqani,
Muhammad Abdul Azhim, Manâhilul ‘Irfân fi Ulûmil Qur`ân, vol. II, Kairo,
al-Maktabah at-Taufiqiyah, tc, 2008.
Ismail, Sya’ban
Muhammad, Ushûl al-Fiqh Târîkhuhu wa Rijâluhu, Kairo, Dar as-Salam, cet.
I, 2010.
Jamaluddin bin Manzhur, Lisânul
Arab, vol. III , Beirut, Dar Shâdir,
cet. 1, 1997.
Zaidan, Abdul Karim, al-Wajîz fi Ushûl
al-Fiqh, Kairo, Mu`assasah ar-Risalah, cet. 15, 2006.
Zuhair, Muhammad Abun Nur, Ushûl
al-Fiqh, vol. II, Kairo, Dar al-Basha`ir, 2007.
[1]
Yusuf Qardhawi lahir di Shafth Turaab, sebuah desa kecil di Mesir, pada 9
September 1926. Ia tidak sempat mengenal ayah kandungnya dengan baik, karena
saat usianya baru mencapai dua tahun, sang ayah meninggal dunia. Sepeninggal
ayahnya, ia dibesarkan oleh ibu kandungnya. Akan tetapi pada saatia duduk di
tahun keempat ibtida'iyah, ibunya pun dipanggil Yang Maha
Kuasa. Beruntung, ibu yang dicintainya masih sempat menyaksikan
putratunggalnya ini hafal seluruh al-Quran dengan bacaan yang sangat fasih,
karenapadausiasembailantahunsepuluhbulan, ia telah hafal al-Quran. Kemampuannya
dalam menghafalAlquranitulah yang
menyebabkankaumkerabatnyakerapmemanggilQardhawi "syaikh". Pendidikan
formalnya dimulai pada salah satu lembaga pendidikan Al-Azhar yang
dekatdengankampungnya.Di lembaga pendidikan inilah Qardhawi kecil mulai
bergelut dengan kedalaman khazanah Islam. Setelah menyelesaikan pendidikannya
di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi melanjutkan keFakultas
Ushuluddin Universitas Al-Azhar, hingga lulus tahun 1952.
[2] Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, Taisir al-Fiqh lil Muslim al-Mu’ashir, Kairo, Maktabah
Wahbah, cet. II, 2004, hal. 41.
[3] Wahbah az-Zuhayli
dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerahQalmun, Damsyiq, Syria
pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang
merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz
al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya
untuk menuntut ilmu. Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun
1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama
6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan
modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan
Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika
itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, - dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat
sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut -
turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa
Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan
dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.
[4] Imam Fahruddin
ar-Razi dilahirkan tahun 544 H dan wafat
tahun 606 H. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin
al-Husen at-Taimi al-Bakri. Dikenal sebagai mufasir, ahli ilmu kalam,ushul
fikih dan lain-lain. Beliau meninggalkan puluhan karangan dan diantaranya
adalah tafsir al-Kabir yang berjilid-jilid itu. Selama hidupnya beliau sering
memerangi pemikiran Khawarij dan kelompok-kelompok yang menimpang dari agama.
Beliau terkenal tegas dan keras. Pidatonya sering menggebu-gebu.
[5] Jamaluddin bin
Manzhur, Lisanul Arab, vol. III , Beirut, Dar Shâdir, cet. 1, 1997 hal. 427.
[6] Syekh Muhammad
Khudhari dan syekh Muhammad Abun Nur Zuhair menyandingkan pembahasan musytarak
lafzhi dengan pembahasan taradhuf (sinonim). Untuk lebih jelasnya lagi lihat
kitab ushul al-fiqh karya syekh Muhammad Khudhari, ushul al-fiqh, Kairo, Dar
al-Hadis, tc, 2004, hal. 143 dan syekh Muhammad Abun Nur Zuhair, Ushul al-Fiqh,
juz 2, Kairo, Dar al-Basha`ir, cet. 1, 2007, hal. 35.
[7]Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 17, th 2009,
hal. 275; Lihat juga Ushul al-Syarkhasy jilid 1 hal. 126, Kasyful Asrar jilid 1
hal. 37, al-Talwih ala at-Taudhih jilid 1 hal. 32, Nihayatus Sul jilid 1 hal.
281, Ushul al-Fiqh karangan Abu Zahrah hal 160, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
karangan Abdul Karim Zaidan hal 326.
[8]
Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin
Ushul al-Fiqh, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, tc,
2006, hal. 157.
[9] Dr. Abdul Athi
Muhammad Ali, Mabahits Ushuliyyah fi
Taqsimatil Alfazh, Kairo, Dar al-Hadis, cet. I, hal. 201
[10] Dr. Wahbah
az-Zuhaily, op.cit., hal. 276-277; lihat juga al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh karya
Dr. Abdul Karim Zaidan hal. 326-327.
[11] Lihat Nihayatus
Sul karya imam Isnawi jilid 1 hal. 286, Kasyful Asrar jilid 1 hal.
39 dan Ushul al-Sarkhasi jilid 1 hal. 162.
[12] Namun Imam Syafi’I
berbeda pendapat dan lebih condong bahwa boleh untuk memakai 2 arti atau lebih
pada kata musytarak. Beliau berdalil pada ayat 18 surat al-Hajj yaitu;
óOs9r& ts? žcr& ©!$# ߉àfó¡o„ ¼çms9 `tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# ß§ôJ¤±9$#ur ãyJs)ø9$#ur ãPqàf‘Z9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur >!#ur¤$!$#ur ׎ÏVŸ2ur z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# ( îŽÏWx.ur ¨,ym Ïmø‹n=tã Ü>#x‹yèø9$# 3 `tBur Ç`Íkç‰ ª!$# $yJsù ¼çms9 `ÏB BQÌõ3•B 4 ¨bÎ) ©!$# ã@yèøÿtƒ $tB âä!$t±o„ ) ÇÊÑÈ
Artinya, “Apakah kamu tiada
mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah
ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.”
Dalam ayat di atas terdapat kata
musytarak yaitu يسجد. Sujud adalah kata musytarak yang
mengandung arti sujud secara istilah yaitu sujud shalat dan sujud secara
bahasayang artinya tunduk. Penyamaan manusia dan makhluk-makhluk lain dalam
ayat itu bahwa manusia juga tunduk sebagaimana tunduknya makhluk lain itu tidak
mungkin. Karena faktanya, manusia itu tidak dikekang dan dipaksa pada
hukum-hukum alam dan justru mereka diberi pilihan untuk bertindak. Maka arti
dari sujud manusia disini adalah sujud shalat dan sujudnya makhluk lain adalah
tunduknya mereka kepada hukum-hukum alam Allah swt.
Namun pendapat ini pun masih bisa
dibantah bahwa mungkin saja arti sujud disini adalah tunduk. Maksudnya manusia
itu tunduk terhadap perintah Allah swt. yang sifatnya ikhtiyari,
sedangkan makhluk lain tunduk kepada hukum-hukum alam Allah yang sifatnya ijbari.
[13] Untuk menentukan
arti salah satu dari arti-arti dari kata musytarak dapat diketahui dengan
qarinah lafzhiyah atau haliyah. Definisi dari qarinah lafzhiyah adalah sesuatu
yang mengiringi lafal tersebut sehingga dapat menunjutkan arti salah satu dari
arti-arti lafal musytarak itu. Sedangkan arti dari qarinah haliyah adalah
kondisi orang Arab ketika lafal diucapkan atau ketika lafal itu turun di
al-Qur’an atau Sunnah.
[14] Mu`awwal bisa
dikatakan arti pilihan dari arti-arti sebuah kata musytarak, sedangkan kalau
musfassar itu arti pilihan dari arti-arti dari satu kata mujmal.
[15] Kata mu`awal disini
penulis tangkat itu berbeda dengan takwil yang sering kita dengar dari
ulama-ulama ahli ilmu kalam. Takwil yang mereka maksud adalah menggunakan makna
yang marjuh (lemah) dan meninggalkan yang rajih (kuat) karena ada dalil yang
menguatkannya. Tema takwil akan dibahas di kajian ar-Risalah pada pembahasan
pembagian lafazh dari segi jelas dan samarnya.
[16] Maksudnya pandangan
yang ghalib adalah bahwa penentuan salah satu arti dari arti-arti kata musytarak
itu cukup dengan praduga yang kuat saja namun dengan dalil dan alasan. Sehingga
bias kita katakana bahwa penentuan lafal yang musytarak itu harus dengan dalil
qath’I dan justru cukup dengan dalil zhanni.
[17] Dr. Wahbah
az-Zuhaili, op.cit,. hal. 280
[18] Pembahasan masalah
takwil cukup luas sekali. Pembahasan ini sering dikupas dalam ilmu kalam dan
ilmu tafsir. Dalam ilmu kalam, perdebatan apakah boleh mentakwil ayat-ayat
al-Qur’an terutama ayat shifat sudah cukup panas dan sampai saling tuduh
mentuduh kafir. Misalkan golongan Ibnu Taimiyah yang tidak setuju jika ayat “ yadullahi
fauqa aidihim” ditakwilkan kekuatan Allah di atas kekuatan mereka (sahabat
yang berbaiat). Arti takwil secara bahasa memang lebih condong ke pengungkapan
atau penjelasan. Dan menurut ulama tafsir, mereka juga sebagian ada yang
menganggap takwil itu sinonim dari
tafsir dan sebagian lagi justru tafsir itu lebih umum dari takwil, dan masih
banyak lagi pendapat-pendapat lainnya. Lihat, Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani, Manahiluh
‘Irfan fi Ulumil Qur`an, juz 2, Kairo, Dar at-Taufiqiyah, tc, 2008,
hal. 6-8. Salah satu sebab yang memicu perdebatan ini adalah perbedaan tafsir
mereka pada surat Ali Imran ayat 7 yaitu;
)وما يعلم تأويله
إلا الله.......)
Artinya, “ Dan
yang hanya mengerti takwilnya itu adalah Allah Swt.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar