Minggu, 30 Desember 2012

Lafazh Mu`awwal dan Musytarak



Kajian Reguler Mingguan
Ar-Risalah (Fokus Ushul Fikih) PCIM Mesir, level II
Rabu, 26 September 2012 M/18 Dzulqa’dah 1433 H

Teori dan Praktek Penalaran Lafal Musyatarak dan Mu`awwal dalam ‘Wahyu Langit’
Oleh: Abu Khair Bedi’uzzaman*

I.                   Prolog
Pembahasan dalâlatul alfazh (cara memahahi khitab langit)  adalah sepertiga pembahasan ushul fikih. Duaseperti lagi ada pada pembahasan adillatul ahkâm dan ijtihad. Dan pembahasan dalalatul alfazh inilah yang paling pokok dan inti untuk menjadi bekal seorang mujtahid memahami wahyu-wahyu langit yang terjemahkan dalam ayat-ayat dan hadis-hadis.
Sudah dibahas pada kajian tercinta kita ar-Risalah pada 3 pertemuan lampau tentang lafal ‘amm, khash dan takhshish. Untuk lebih menyempurnakan tema ini maka penulis ingin menjelaskan apa itu yang disebut lafal musytarak dan mu`awwal. Dan bagaimanakah posisinya dari macam-macam lafal yang lain? Mungkin pembahasan kami belum terlalu menyentuh dengan dialektika yan sedang berkembang di dunia ke-ushul fikih-an karena memang kami masih pemula. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi[1], dalam kitabnya Taisir al-Fiqh lil Muslim al-Mua’shir bahwa ushul fikih itu tidak semuanya itu qath’I dan tidak menerima rekonstruksi sama sekali. Tapi ushul fikih itu seperti fikih yang menerima ijtihad baru untuk menjawab problematika kehidupan dan semakin komplek.[2]
Perlu diketahu bahwa menurut mayoritas Hanafiyah, lafal musytarak dan mu`awwal itu masuk ke bagian lafal khâsh sehingga mereka menjadikan pembahasannya di tema ini. Sedangkan ulama lain memandang itu termasuk lafal ‘âmm dan maka diindependenkanlah pembahasannya. Untuk itu diharapkan pambaca jeli dalam membaca literatur ushul fikih terutama di Kairo ini banyak sekali buku-buku ushul fikih dengan penulis yang notabene Hanafiyah, seperti muqarrar kajian kita Ushul fiqh al-Islami karangan Ulama Damaskus Dr. Wahbah Zuhaily[3]. Penulis tidak bermaksud fanatik, namun khawatir nanti ada kerancuan pemahaman bagi yang tidak jeli. Dan apa juga salahnya kita memahami ushul fikih mereka, toh dalam berfikih pun kita mempelajari fatwa-fatwa mereka. Untuk lebih meluaskan wacana, maka penulis menyarankan bagi pembaca untuk mengimbangi intektual kita dalam ilmu ushul fikih dengan kitab-kitab ushul fikih karangan ulama syafi’iyah atau metode Mutakallimin seperti al- Mahsul karangan imam Fahruddin ar-Razi[4], Nihayatus Sul syarahnya imam Isnawi dari Minhajul Wushul karangan imam Jalaluddin al-Baidhawi, dan yang agak mudah bahasanya adalah karangan gurunya Mufti Mesir sekarang yaitu Muhammad Abun Nur Zuhair yaitu Ushul al-Fiqh.
Akan lebih baik lagi penulis sarankan bahwa kitab-kitab ushul fikih itu berbeda-beda dalam corak penulisannya. Mungkin kalau kita belajar di Kuliah, hanya ada 3; Mutakallimin, Hanafiyah, dan Gabungan dari keduanya. Namun ada tambahan lagi yaitu metode Takhrijul Furu` ‘alal Ushul, Maqashid asy-Syari’ah, dan Metode Kontemporer. Bahkan sekarang sudah ada kitab ushul fikih yang disusun seperti buku-buku perundangan, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr dalam kitabnya Taqnin Ushul al-Fiqh.
Dalam makalah mungil ini akan penulis bahas tentang definisi, macam, contoh, hukum, dan aplikasi pemakaian musytarak dan mu`awwal supaya kita lebih memahami karakteristik masing-masing mazhab dalam meriset dalil-dalil hukum. Semoga kita ditakdirkan menjadi ulama mujtahidin yang ikhlas beramal dengan ilmu-ilmu yang kita dapatkan. Amin.

II.                Pembahasan
1.      A. Klasifikasi dan Definisi Musytarak
Musytarak secara etimologi dari kata syirkah atau syarikah yang artinya percampuran dua komponen.[5] Sebelum penulis menjelaskan definisi musytarak secara terminologi, perlu diketahui bahwa lafal musytarak itu ada dua macam, yaitu musytarak lafzhi dan ma’nawi. [6]
a.      Musytarak Lafzhi adalah lafal yang diletakkan untuk menunjukan dua makna atau lebih. Contohnya lafal (العين) yang memiliki makna mata kepala, matahari, mata air, mata-mata, barang dagangan, dan emas.[7] Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr memberikan perbedaan antara musytarak dan ‘amm. Lafal ‘amm itu mencakup semua afradnya namun dengan satu makna, tapi musytarak dengan macam-macam arti. Sedangkan perbedaannya dengan lafal muthlak adalah kalau musytarak itu umum dan tidak diketahui mana yang dimaksud kecuali yang berbicara, sedangkan muthlak itu baik yang bicara atau pendengar itu tidak tahu mana yang diinginkan.[8]
b.      Musytarak ma’nawi adalah lafal yang diletakkan untuk menunjukan qadrun musytarak (titik temu) di atas arti lafal itu.[9] Contohnya lafal manusia, lafal ini diletakkan untuk menunjukan dan mencakup semua makhluk hidup yang layak dinamakan manusia baik laki-laki atau perempuan. Lafal manusia mencakup Anam, Sari, Fahruddin dan lain-lain. Di antara dua macam musytarak ini, musytarak lafzhilah yang akan kita bahas.

B.     Sebab-sebab Munculnya Lafal Musytarak
Lafal musytarak tidak muncul begitu saja, namun ada faktor-faktor yang menjadikan sebuah lafal menjadi musytarak. Di antara faktor-faktor tersebut adalah;[10]
1.      Perbedaan peletakkan dari masing-masing kabilah Arab.
Terkadang ada satu kata yang setiap kabilah meletakkannya untuk arti tertentu berbeda dengan kabilah lain di Arab. Misalkan kabilah Quraisy meletakan kata العين  untuk arti mata kepala, kemudian kabilah Hudzail justru meletakkannya untuk arti mata air dan seterusnya.
2.      Perkembangan makna dalam pemakaian lafal itu.
Terkadang ada satu lafal diletakkan untuk menunjukan dua arti, dan ini yang disebut juga musytarak ma’nawi. Kemudian orang-orang lupa akan arti asal dari lafal itu sehingga generasi berikutnya menyangka bahwa lafal itu termasuk dari macam lafal musytarak lafzhi. Misalnya kata al-maula yang diletakkan untuk arti penolong kemudian mengalami penyempitan makna menjadi musytarak lafzhi yang artinya budak dan majikan/tuan.
3.      Sering berganti-ganti arti antara arti yang hakikat (asal) dan yang majaz.
Misalnya jika ada lafal yang dipakai sebagai arti majaz namun karena sering dipakai sehingga terkenal dan seolah menjadi arti hakikatnya.
4.      Sering berganti-ganti antara arti aslinya (hakikat) dan arti secara istilah urf.
Sebuah lafal yang asalnya diletakkan untuk arti tertentu kemudian dalam pengertian istilah urf dipakai untuk arti lain, sehingga menyababkan percampuran makna dalam satu kata ini.

C.    Hukum (Penunjukan makna) Musytarak
Sudah penulis bahas di atas bahwa kata musytarak memiliki makna lebih dari satu, jika dalam al-Qur’an atau Hadis menyebutkan kata musytarak, maka arti manakah yang harus kita ambil? Ataukah kita bebas memilih antara dua arti tersebut? Para ulama[11] sudah menetapkan bahwa jika terdapat kata musytarak maka harus mengambil/memakai arti yang paling unggul dan tidak boleh mengambil dua-duanya atau lebih sehingga seperti kata umum.[12] Karena isytirak adalah bukan asal dari makna sebuah kata. Namun jika ternyata masih kuat mengandung makna isytirak maka seorang mujtahid disinilah harus  mengerahkan sekuat kemampuannya untuk menentukan antara arti-arti isytirak itu.[13]
Jika disebutkan dalam ‘wahyu langit’ (al-Qur’an atau hadis) satu kata yang mengandung dua arti atau lebih, yaitu arti  bahasa dan istilah syar’i, maka yang dipakai adalah arti istilah syar’I karena kata tersebutsedang digunakan pada nash syariat. Misalkan kata shalat, disebutkan dalam ayat ( وأقيموا الصلوة) maka maksudnya adalah shalat secara syar’I yang didahului dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dan bukan diartikan doa.
Kalau dalam wahyu langit ada dua kata atau lebih mengandung arti secara bahasa maka jika ada qarinahnya yang menunjukan arti salah satu arti tersebut maka kita gunakan qarinah itu. Qarinah bias berupa lafzhiyah atau ma’nawiyah.
Misal kata yang mengandung musytarak dan ditentukan makna salah satunya dengan qarinah lafzhiyah adalah kata al-qur’u yang mempunyai arti suci dan haidh. Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah memakai qarinah lafzhiyah yaitu dari kata ثلاثة (adad). Jika adadnya mu`annats maka ma’dud-nya harus mudzakar maka mau tidak mau arti dari qur’un di sini harus thuhr (suci) karena haidhah itu mu`annats.
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat makna al-qur`u di sini adalah haidh. Mereka juga berdalil dengan qarinah lafzhiyah yaitu bahwa kata ثلاثة  itu khas yang kata khas menunjukkan arti secara pasti bahwa lamanya haidh itu 3 quru` tanpa ada kurang atau lebih dan hal ini tidak terealisasikan kecuali jika makna qur`u disini adalah haidh.
Perbedaan ulama dalam mengarahkan qarinah akan menyebabkan hukum yang dihasilkan para ulama itu berbeda-beda sebagaimana kita lihat contoh di atas. Ada juga contoh kata musytarak yang memilik qarinah namun tidak ada perselisihan antara ulama yaitu lafal al-mahidh. Lafal al-mahidh punya arti tempat haidh atau waktu keluarnya darah haidh. Dalam surat al-Baqarah ayat 222 yaitu;
 štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya,” Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Ayat di atas menyuruh para suami menjauhi perempuan pada al-mahidh, kalau diartikan zaman keluarnya darah haidh maka tidak cocok karena qarinah haliyah-nya yaitu kondisi orang Arab dulu itu tidak menjauhi istri-istri mereka di kala haidh, maka arti yang tepat adalah larangan mendekati tempat keluarnya darah haidh alias larangan menggauli istri di kala dia haidh.
Kalau sudah ada qarinahnya maka mudah menentukan arti yang benar dari dua atau lebih kata musytarak, dan sekarang pertanyaannya jika kata musytarak itu diucapkan tanpa ada qarinah yang menunjukkan arti salah satunya, bagaimana kita mengartikannya? Apakah kita memakai semua arti musytarak itu? Atau tawaqquf menunggu ada dalil yang mengkhususkannya? Dalam hal ini para ulama berselisih menjadi 3 golongan;
Pendapat pertama dari mayoritas Hanafiyah, sebagian Syafi’iyah yaitu imam al-Amidi, mereka mengatakkan harus tawaqquf sampai ada dalil yang mengkhususkan salah satu makna kata musytarak itu. Alasan mereka karena kata musytarak asalnya itu tidak diletakkan untuk menunjukkan semua arti-arti tersebut. Pendapat inilah yang mengantkan bahwa musytarak termasuk dari kata khusus.
Pendapat kedua adalah dari mayoritas Syafi’iyah, al-Qadhi Abdul Jabbar, Ibnul Hajib, imam Malik, mereka berbeda 180’ dari pendapat pertama. Mereka erpendapat bahwa kata musytarak itu termasuk kata umum sehingga jika tidak ada qarinah yang menentukan salah satu makna itu maka semua makna itu dipakai. Kubu ini berdalil dengan surat al-Ahzab ayat 56;
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áムn?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JŠÎ=ó¡n@ ÇÎÏÈ  
Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah. “
Arti bershalawat itu memiliki dua makna, yaitu minta ampunan dan member ampun. Pada ayat di atas, arti shalawat dari malaikat adalah meminta ampun kepada Allah untuk nabi Muhammad Saw. Sedangkan arti bershalwatnya Allah kepada Nabi adalah member ampun kepadanya. Dua arti yang berbeda di atas menunjukan kata shalwat itu kata musytarak dan dua-duanya dipakai dalam satu kalimat maka boleh memakai dua arti atau lebih dari musytarak dalam satu kalimat.
2.       Mu`awwal[14]
A.    Defininisi Mu`awwal
Mu`awwal[15] dari kata âla-yaûlu yang artinya kembali. Sedangkan secara terminologi, maksud mu`awwal disini adalah kata yang rajih untuk diambil/dipakai dari arti-arti kata musytarak dengan pendangan yang ghalib[16].[17]
B.     Ta`wil[18] Musytarak
Proses dan praktek untuk mencari arti pilihan dari arti-arti kata musytarak itu adalah yang disebut ta`wil al-musytarak. Dr. Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa ulama Hanafiyah menjelaskan ada 4 cara yaitu;
1.      Pentakwilan lafal musytarak dari segi lafazhnya. Contohnya kata al-qur’u yang memiliki arti berkumpul seperti al-qur’an dan makna berpindah. Kemudian arti berkumpul diungulkan karena membantu untuk menunjukkan makna haidh yaitu bahwa haidh itu adalah berumpullnya darah dalam rahim wanita.
2.      Dengan melihat qarinah sibaq atau kata-kata sebelum kata musytarak itu. Misalnya kata tsalatsata quru’. Jika diartikan thuhr maka suci disini tidak genap 3 quru’ karena seumpama wanita ditalak dalam kondisi suci maka penghitungan 3 suciannya itu tidak genap, tapi 2,5 quru’. Namun jika memakai makna haidh maka akan genap karena walaupun ada sedikit waktu haidh yang terhitung, itu dimaafkan karena haidh tidak dibagi-bagi. Makanya iddahnya budak itu 2 haidh walaupun padahal bisa dibagi menjadi 1,5 haidh.
3.      Melihat siyaq/konteks kalmat. Contohnya surat Fathir ayat 35;
üÏ%©!$# $oY¯=ymr& u#yŠ ÏptB$s)ßJø9$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù Ÿw $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò=|ÁtR Ÿwur $uZ¡yJtƒ $pkŽÏù Ò>qäóä9 ÇÌÎÈ  
Artinya, “Yang menempatkan Kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; didalamnya Kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu".

Kata أحلنا  bisa diartikan turun atau halal, namun kata-kata setelahnya yaitu دار المقامة  menjadi qarinah bahwa maksudnya turun dan bukan halal.
4.      Dalil Ekstern, maksudnya dalil yang sama sekali tidak satu kalimat dimana kata musytarak itu disebutkan. Contohnya surat al-Baqarah ayat 228 yaitu;
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿ
Artinya, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”.

Quru` pada ayat di atas memilik makna suci dan haidh, untuk menentukkan salah satu maknanya adalah dengan mencari dalil ekstern yaitu hadis Fathimah bin Hubaisy dimana Nabi bersabda kepadanya yang artinya, “ Tinggalkanlah shalat di hari-hari haidhmu”.

C.    Hukum Mu`awwal
Wajib hukumnya memakai arti kata mu`awwal walaupun dimungkinkan salah. Dan jika memang setelah itu Nampak salah maka wajib meralat kembali. Misalnya jika seorang suami mengatakan ke istrinya, “Kamu ba`in”. arti ba`in bisa thalak ba`in atau pisah tubuh saja. Jika kondisi suami memang ingin mentalak maka jatuhlah talak bainunah. Namun jika tidak maka artinya pisah jasad saja.

III.             Kesimpulan dan Epilog
Pembahasan musytarak dan mu`awwal itu sangat penting sekali dalam berinteraksi dengan wahyu-wahyu langit atau nash-nash syariat baik berupa ayat atau hadis. Seeorang mujtahid dituntut untuk jeli dan teliti dalam menentukan arti dari masing-masing kata yang muncul dalam kalam agama. Perbedaan metode nalar ijtihad akan rentan menjadi bedanya hokum yang dihasilkan.
Dengan memahami metode masing-masing mazhab, kita akan semakin berlapang dada dn tidak mudah mengatakan mazhab lain itu bodoh. Dan juga akan menjauhkan kita dari virus fanatik. Mengetahui metode ini pun akan menyuburkan pintu-pintu ijtihad. Bukan hanya mengandalkan buku-buku fikih ulama terdahulu dalam menentukan hokum-hukum kontemporer sebagaimana kita sering dengar dalam forum-forum bahtsul masa`il.
Semoga pemaparan singkat dari pemakalah cukup membuka wacana para pembaca tentang lafal musytarak dan mu`awwal. Semoga bisa menjadi batu loncatan untuk lebih mendalami lagi tema-tema yang berkaitan dengan dalalatul alfazh yang menjadi sepertitiga pembahasan ushul fikih. Kritik dan saran sangat ditunggu-tunggu oleh penulis dengan catatan membangun. Wallâhu a’lam bish shawâb.




Daftar Pustaka
  Abdul Barr, Muhammad Zaki , Taqnîn Ushûl al-Fiqh, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, tc, 2006.
Ali, Muhammad Abdul Athi Muhammad, Mabâhits Ushâliyah fi Taqsîmâtil Alfâzh, Kairo, Dar al-Hadis, tc, 2007.
Al-Isnawi, Jamaluddin Abdurrahim bin al-Hasan, Nihâyatus Sûl fi Syarhi Minhâjil Wushûl ilâ Ilmi Ushûl, vol. I, Kairo, al-Maktabah at-Taufiqiyah, tc, 2009.
Al-Khudhari, Muhammad, Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Hadis, tc, 2003.
al-Qaradhawi, Yusuf, Taisîr al-Fiqh lil Muslim al-Mu’âshir, Kairo, Maktabah Wahbah, cet. II, 2004.
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, vol. 1, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 17, 2009.
Az-Zurqani, Muhammad Abdul Azhim, Manâhilul ‘Irfân fi Ulûmil Qur`ân, vol. II, Kairo, al-Maktabah at-Taufiqiyah, tc, 2008.
Ismail, Sya’ban Muhammad, Ushûl al-Fiqh Târîkhuhu wa Rijâluhu, Kairo, Dar as-Salam, cet. I, 2010.
Jamaluddin bin Manzhur, Lisânul Arab, vol. III , Beirut, Dar Shâdir,  cet. 1, 1997.
Zaidan, Abdul Karim, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, Kairo, Mu`assasah ar-Risalah, cet. 15, 2006.
Zuhair, Muhammad Abun Nur, Ushûl al-Fiqh, vol. II, Kairo, Dar al-Basha`ir, 2007.



*Mahasiswa strata 1 jurusan Syariah Islam semester 7 Universitas al-Azhar asy-Syarif Kairo Mesir.
[1] Yusuf Qardhawi lahir di Shafth Turaab, sebuah desa kecil di Mesir, pada 9 September 1926. Ia tidak sempat mengenal ayah kandungnya dengan baik, karena saat usianya baru mencapai dua tahun, sang ayah meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, ia dibesarkan oleh ibu kandungnya. Akan tetapi pada saatia duduk di tahun keempat ibtida'iyah, ibunya pun dipanggil Yang Maha Kuasa. Beruntung, ibu yang dicintainya masih sempat menyaksikan putratunggalnya ini hafal seluruh al-Quran dengan bacaan yang sangat fasih, karenapadausiasembailantahunsepuluhbulan, ia telah hafal al-Quran. Kemampuannya dalam menghafalAlquranitulah yang menyebabkankaumkerabatnyakerapmemanggilQardhawi "syaikh". Pendidikan formalnya dimulai pada salah satu lembaga pendidikan Al-Azhar yang dekatdengankampungnya.Di lembaga pendidikan inilah Qardhawi kecil mulai bergelut dengan kedalaman khazanah Islam. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Qardhawi melanjutkan keFakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, hingga lulus tahun 1952.
[2] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Taisir al-Fiqh lil Muslim al-Mu’ashir, Kairo, Maktabah Wahbah, cet. II, 2004, hal. 41.
[3] Wahbah az-Zuhayli dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerahQalmun, Damsyiq, Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Bapaknya bernama Musthafa az-Zuhyli yang merupakan seorang yang terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya serta hafidz al-Qur’an, beliau bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong putranya untuk menuntut ilmu. Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan. Ketika itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1. Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3. Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957

 Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, - dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
 Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami wa Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Dirasah Islamiyyah.
[4] Imam Fahruddin ar-Razi  dilahirkan tahun 544 H dan wafat tahun 606 H. Nama asli beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husen at-Taimi al-Bakri. Dikenal sebagai mufasir, ahli ilmu kalam,ushul fikih dan lain-lain. Beliau meninggalkan puluhan karangan dan diantaranya adalah tafsir al-Kabir yang berjilid-jilid itu. Selama hidupnya beliau sering memerangi pemikiran Khawarij dan kelompok-kelompok yang menimpang dari agama. Beliau terkenal tegas dan keras. Pidatonya sering menggebu-gebu. 
[5] Jamaluddin bin Manzhur, Lisanul Arab, vol. III , Beirut, Dar Shâdir,  cet. 1, 1997 hal. 427.
[6] Syekh Muhammad Khudhari dan syekh Muhammad Abun Nur Zuhair menyandingkan pembahasan musytarak lafzhi dengan pembahasan taradhuf (sinonim). Untuk lebih jelasnya lagi lihat kitab ushul al-fiqh karya syekh Muhammad Khudhari, ushul al-fiqh, Kairo, Dar al-Hadis, tc, 2004, hal. 143 dan syekh Muhammad Abun Nur Zuhair, Ushul al-Fiqh, juz 2, Kairo, Dar al-Basha`ir, cet. 1, 2007, hal. 35.
[7]Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, juz 1, Damaskus, Dar al-Fikr, cet. 17, th 2009, hal. 275; Lihat juga Ushul al-Syarkhasy jilid 1 hal. 126, Kasyful Asrar jilid 1 hal. 37, al-Talwih ala at-Taudhih jilid 1 hal. 32, Nihayatus Sul jilid 1 hal. 281, Ushul al-Fiqh karangan Abu Zahrah hal 160, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh karangan Abdul Karim Zaidan hal 326.
[8] Dr. Muhammad Zaki Abdul Barr, Taqnin Ushul al-Fiqh, Kairo, Maktabah Dar at-Turats, tc, 2006, hal. 157.
[9] Dr. Abdul Athi Muhammad Ali, Mabahits Ushuliyyah fi Taqsimatil Alfazh, Kairo, Dar al-Hadis, cet. I, hal. 201
[10] Dr. Wahbah az-Zuhaily, op.cit., hal. 276-277; lihat juga al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Abdul Karim Zaidan hal. 326-327.
[11] Lihat Nihayatus Sul karya imam Isnawi jilid 1 hal. 286, Kasyful Asrar jilid 1 hal. 39 dan Ushul al-Sarkhasi jilid 1 hal. 162.
[12] Namun Imam Syafi’I berbeda pendapat dan lebih condong bahwa boleh untuk memakai 2 arti atau lebih pada kata musytarak. Beliau berdalil pada ayat 18 surat al-Hajj yaitu;

óOs9r& ts? žcr& ©!$# ßàfó¡o ¼çms9 `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur Îû ÇÚöF{$# ß§ôJ¤±9$#ur ãyJs)ø9$#ur ãPqàfZ9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur >!#ur¤$!$#ur ׎ÏVŸ2ur z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# ( ÏWx.ur ¨,ym Ïmøn=tã Ü>#xyèø9$# 3 `tBur Ç`Íkç ª!$# $yJsù ¼çms9 `ÏB BQ̍õ3B 4 ¨bÎ) ©!$# ã@yèøÿtƒ $tB âä!$t±o ) ÇÊÑÈ
  
Artinya, “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

Dalam ayat di atas terdapat kata musytarak yaitu يسجد. Sujud adalah kata musytarak yang mengandung arti sujud secara istilah yaitu sujud shalat dan sujud secara bahasayang artinya tunduk. Penyamaan manusia dan makhluk-makhluk lain dalam ayat itu bahwa manusia juga tunduk sebagaimana tunduknya makhluk lain itu tidak mungkin. Karena faktanya, manusia itu tidak dikekang dan dipaksa pada hukum-hukum alam dan justru mereka diberi pilihan untuk bertindak. Maka arti dari sujud manusia disini adalah sujud shalat dan sujudnya makhluk lain adalah tunduknya mereka kepada hukum-hukum alam Allah swt.
Namun pendapat ini pun masih bisa dibantah bahwa mungkin saja arti sujud disini adalah tunduk. Maksudnya manusia itu tunduk terhadap perintah Allah swt. yang sifatnya ikhtiyari, sedangkan makhluk lain tunduk kepada hukum-hukum alam Allah yang sifatnya ijbari.
[13] Untuk menentukan arti salah satu dari arti-arti dari kata musytarak dapat diketahui dengan qarinah lafzhiyah atau haliyah. Definisi dari qarinah lafzhiyah adalah sesuatu yang mengiringi lafal tersebut sehingga dapat menunjutkan arti salah satu dari arti-arti lafal musytarak itu. Sedangkan arti dari qarinah haliyah adalah kondisi orang Arab ketika lafal diucapkan atau ketika lafal itu turun di al-Qur’an atau Sunnah.
[14] Mu`awwal bisa dikatakan arti pilihan dari arti-arti sebuah kata musytarak, sedangkan kalau musfassar itu arti pilihan dari arti-arti dari satu kata mujmal.
[15] Kata mu`awal disini penulis tangkat itu berbeda dengan takwil yang sering kita dengar dari ulama-ulama ahli ilmu kalam. Takwil yang mereka maksud adalah menggunakan makna yang marjuh (lemah) dan meninggalkan yang rajih (kuat) karena ada dalil yang menguatkannya. Tema takwil akan dibahas di kajian ar-Risalah pada pembahasan pembagian lafazh dari segi jelas dan samarnya.
[16] Maksudnya pandangan yang ghalib adalah bahwa penentuan salah satu arti dari arti-arti kata musytarak itu cukup dengan praduga yang kuat saja namun dengan dalil dan alasan. Sehingga bias kita katakana bahwa penentuan lafal yang musytarak itu harus dengan dalil qath’I dan justru cukup dengan dalil zhanni.
[17] Dr. Wahbah az-Zuhaili, op.cit,. hal. 280
[18] Pembahasan masalah takwil cukup luas sekali. Pembahasan ini sering dikupas dalam ilmu kalam dan ilmu tafsir. Dalam ilmu kalam, perdebatan apakah boleh mentakwil ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat shifat sudah cukup panas dan sampai saling tuduh mentuduh kafir. Misalkan golongan Ibnu Taimiyah yang tidak setuju jika ayat “ yadullahi fauqa aidihim” ditakwilkan kekuatan Allah di atas kekuatan mereka (sahabat yang berbaiat). Arti takwil secara bahasa memang lebih condong ke pengungkapan atau penjelasan. Dan menurut ulama tafsir, mereka juga sebagian ada yang menganggap takwil itu sinonim  dari tafsir dan sebagian lagi justru tafsir itu lebih umum dari takwil, dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lainnya. Lihat, Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani, Manahiluh ‘Irfan fi Ulumil Qur`an, juz 2, Kairo, Dar at-Taufiqiyah, tc, 2008, hal. 6-8. Salah satu sebab yang memicu perdebatan ini adalah perbedaan tafsir mereka pada surat Ali Imran ayat 7 yaitu;
)وما يعلم تأويله إلا الله.......)
Artinya, “ Dan yang hanya mengerti takwilnya itu adalah Allah Swt.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar