Minggu, 30 Desember 2012


Kajian Reguler al-Wasathiyah
Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir
 Selasa, 24 Dzulqa’dah 1433 H/ 2 Oktober 2012

Studi Pengantar dan Sejarah Ulumul Qur`an
Oleh: Khaerul Anam*

I.                   Prolog
Al-Qur`an adalah kitab yang bersumber dari Allah swt. untuk umat semesta. Kitab yang selalu relevan untuk segala zaman. Karena dia kitab yang sangat jelas dan mudah dipahami. Kitab yang mencakup semua permasalahan agama. Kitab yang juga mukjizat monumental Nabi yang selalu terjaga dari tangan-tangan jail sepanjang zaman.[1]  Al-Qur’an juga poros kebudayaan dari zaman dulu yang menelorkan peradaban ilmu pengetahuan yang canggih.[2] Sehingga dulu Islam maju disaat Negara-negara Barat masih di kegelapan kebodohan.
            Al-Qur’an datang untuk meluruskan akidah, mengangkat kehormatan dan hak-hak manusia terutama perempuan dan orang tertindas seperti budak, menunjukkan siapa lah yang wajib disembah, membersihkan jiwa, merintis keluarga harmonis, mencetak generasi harapan, dan mengajak kepada saling peduli dan tolong menolong.[3]
            Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang dihapal oleh jutaan orang. Kitab yang bisa menjadikan orang menangis walaupun pembacanya tidak paham artinya. Al-Qur’an lah satu-satunya kitab yang tidak pernah berubah bacaannya walau satu harakat dari 14 abad silam.
            Al-Qur’an adalah undang-undang agama dan dunia (politik). Al-Qur’an pedoman semua lapisan umat manusia. Untuk memahaminya juga butuh ilmu-ilmu yang erat hubugannya dengan bahasa Arab dimana al-Qur’an diturunkan di Arab. Dan juga berhubungan dengan ilmu-ilmu syariat yang bersifat sam’iyat dimana statusnya tauqiqi dan harus diimani. Kita harus percaya tanpa mengatakan mengapa.
            Al-Qur’an, untuk memahaminya, butuh ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Ilmu tersebut terkenal dengan disiplin ilmu al-Qur`an. Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna dan lengkap. Makanya tak heran jika pembahasan ilmu al-Qur`an bak lautan tak berpantai. Namun itu tak menjadi alasan kita untuk mengarungi lautan tersebut. Untuk mengarungi ilmu-ilmu tersebut maka penulis susun sedikit tentang pengantar dan sejarah ilmu al-Qur’an. Semoga makalah mungil ini bisa menjadi pengantar yang baik untuk lebih mendalami ilmu al-Qur`an ini.

II.   Pembahasan
A. Definisi Ulumul Qur’an
1.      Definisi Ulum
Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilmu yang secara etimologi memilik arti ma’rifah (pengetahuan), fahm (pemahaman) atau al-jazm fi ar-ra’y (kemantapan dalam berpendapat).[4] Adapun secara terminologi[5] ilmu disiplin ilmu secara umum, az-Zurqani menyebutkan ada tiga definisi yaitu sebagai berikut;
a.       Ilmu adalah pembahasan-pembahasan yang dibatasi pada satu disiplin (ilmu) baik berupa teori umum, dharûri, atau parsial.[6]
b.      Ilmu adalah mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas.
c.       Ilmu adalah kemampuan yang sudah melekat pada jiwa seseorang.
Dari tiga definisi di atas, definisi yang pertamalah yang paling cocok untuk diterima karena kata ilmu secara tidak langsung kalau disebutkan itu akan dipahami disiplin ilmu (at-tabâdur), dan yang demikian adalah ciri-ciri bahwa arti itulah yang hakikat/asli.
2.      Definisi al-Qur`an[7]
Secara etimologi, para ulama berselisih asal mula kata al-Qur’an. Pendapat-pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.      Al-Qur`an dari kata qara`a atau qirâ`ah yang artinya membaca atau bacaan. Ini adalah pendapat al-Lihyani dan beberapa ulama.
b.      Al-Qur`an dari al-qar’u yang artinya mengumpulkan. Ini pendapat imam az-Zajjaj.
c.       Al-Qur`an dari kata qarâ`in yang artinya serupa dan mirip, karena ayat satu dengan lainnya hampir mirip atau saling menyamai. Pendapat ini dianut imam al-Farra.
d.     Al-Qur`an dari kata qarana yang artinya menghimpun. Ini pendapat imam al-‘Asy’ari dan golongan lain.
e.      Al-Qur`an itu nama yang tidak ada asalnya (alam murtajal)[8]. Pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi’i.
Dari lima pendapat di atas, pendapat pertamalah yang paling kuat. Para ulama juga lebih condong untuk mengambil pendapat pertama.
Sebelum membahas definisi al-Qur`an secara terminologi, izinkanlah saya untuk menjelaskan tentang hakekat kalam. Berhubung al-Qur`an itu juga firman Allah swt. (kalâmullâh). Kalam ada empat macam;
-          Kalâm Basyari Lafzhî bil Ma’nâ al-Mashdarî yaitu proses bergeraknya mulut untuk mengeluarkan huruf-huruf dari tempatnya.
-          Kalâm Lafzhî bil Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar yaitu kata-kata yang diucapkan manusia untuk memahamkan pendengar.
-          Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Mashdarî yaitu mendatangkan arti-arti pada otak tanpa diucapkan sehingga hanya berupa bayangan-bayangan teratur yang jika dikeluarkan lewat mulut maka akan menjadi kalam lafzhi.
-          Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar yaitu kata atau arti yang teratur dan berada di otak  tanpa dikeluarkan.

Al-Qur`an Perspektif Ulama Ilmu Kalam
Adapun al-Qur`an, terkadang juga disebut sebagai kalâm lafzhî dan juga kalâm nafsî. Yang menyebutkan bahwa al-Qur`an dengan sebutan kalâm nafsî adalah ulama ilmu kalam karena kerjaan mereka adalah membahas sifat-sifat Allah swt.[9] Sedangkan yang memakai penamaan al-Qur`an itu kalâm lafzhi adalah para ulama ushul fikih, fikih, dan bahasa Arab. Ini karena kesibukan mereka itu pada pendalilan hukum dengan lafazh-lafazh dan pembahasan segi i’jâz bahasanya bagi ulama bahasa Arab. Terkadang ulama ilmu kalam memandang al-Qur`an sebagai kalâm lafzhî dari segi akan mengimani kitab-kitab Allah yang diturunkan ke bumi dan penetapan kenabian Muhammad. Itu semua didasarkan dengan al-Qur`an melalui lafazh-lafazh-nya.
Dari pembagian 4 kalam di atas, bisa didefinisikan kalâmullâh an-nafsî sebagai berikut;
a.      Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Mashdarî (proses) adalah sifat terdahulu yang berhubungan dengan kata-kata hukum (al-Qur`an) dari al-Fatihah sampai an-Nas.
b.       Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar (hasil) adalah kata-kata hukum azali yang teratur tanpa ada huruf dan suara.
Sebagian ulama ilmu kalam juga mendefinisikan al-Qu`an sebagaimna didefiniskan oleh ulama ushul fikih dan fikih, yaitu kalam yang diturunkan ke nabi Muhammad dan bermula dari surat al-Fatihah sampai an-Nas.[10] Mereka juga ada yang mendefinikan bahwa al-Qur`an adalah pahatan-pahatan yang ada di mushaf.[11]
Al-Qur`an Perspektif Fuqaha, Ulama Ushul Fikih dan Bahasa Arab
Dalam mendefinisikan al-Qur`an[12], mereka pun berbeda pendapat. Penulis ringkas saja sebagai berikut:
a.      Ulama yang memperpanjang definisi yaitu kalâmullah yang bermukjizat (i’jâz) dan diturun ke Nabi Muhammad (inzâl), ditulis dalam mushaf (kitabah), ditransformasi secara mutawatir (tawâtur) dan membacanya dinilai ibadah (ta’abbud). [13]
b.      Ulama yang hanya meringkas definisi al-Qur’an dengan satu karakteristiknya saja, yaitu i’jâz. Alasanya adalah karena i’jâz adalah sifat objektifitas al-Qur’an yang tidak bisa dipisahkan dan sebagai bukti monumental akan kebenaran nabi Muhammad Saw.
c.       Ulama lain meringkas dengan dua karakteristik yaitu al-inzal dan al-i’jâz karena dua sifat ini cukup untuk mencapai tujuan pendefinisian al-Qur’an.
d.     Ada juga yang meringkas dengan dua karakteristik yaitu tawâtur dan kitâbah karena 2 sifat itu cukup untuk membedakannya dengan kitab-kitab lain.
e.      Pendapat terakhir menjadikan 3 karakteristik dalam definisi al-Qur’an yaitu inzâl, tawâtur dan ta’abbud. Karena 3 sifat ini cocok dengan tujuan para ahli ushul fikih.
Dari pengertian ilmu dan al-Qur’an di atas maka dapat disimpulkan arti dan definisi al-Qur`an baik dilihat dari susunannya atau dilihat sebagai disiplin ilmu. Dari susunannya maka jelas bahwa Ulumul Qur`an itu berarti ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur`an seperti ilmu tafsir, ilmu qira`at, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu i’jâzul qur`ân, ilmu i’râbul qur`ân, dan lain-lain. Sedangkan diliat sebagai disiplin ilmu, Ulumul Qur`an adalah ilmu yang memliki pembahasan-pembahasan berkaitan dengan al-Qur`an berupa ilmu nuzûl al-Qur`ân, susunannya, kodifikasinya, tafsirnya, nasikh-mansukhnya, dan lain-lain.[14] Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa objek pembahasan[15] al-Qur`an adalah al-Qur`an itu sendiri dari segi ilmu tafsirnya, nasikh-mansuknya, muhkam mutasyabihatnya, dan lain-lain.

B.     Sejarah Ulumul Qur’an
Pembahasan masalah sejarah ulumul Qur`an akan penulis bagi menjadi dua fase yaitu fase sebelum kodifikasi dan pasca kodifikasi.
1.      Sebelum Kodifikasi
Al-Qur`an diturunkan mengikuti kejadian-kejadian yang ada di zaman Nabi dan tidak sekaligus langung turun satu kitab. Setiap ayat atau surat yang turun, Nabi ajarkan ke para sahabat dengan pelan-pelan dan dijelaskan pula tafsirannya. Terkadang para sahabat juga bertanya tentang ayat-ayat yang sulit dipahami. Dengan berjalannya waktu, para sahabat semakin pintar dan ilmu-ilmu al-Qur`an pun melekat pada jiwa dan akal mereka.
Namun ketika itu nabi melarang sahabat untuk menulis apa yang mereka dengar dari Nabi kecuali al-Qur`an karena ditakutkan akan bercampur-campur antara satu dan lain. Para sahabat terkenal kuat hapalannya, walaupun mereka banyak yang buta huruf. Bait-bait sya’ir cukup sekali saja didengarkan, mereka akan hafal. Mungkin dengan faktor-faktor yang semacam inilah ulumul Qur`an belum dikodifikasi. Dan bahkan mungkin para sahabat belum perlu, karena pemahaman bahasa Arab mereka juga masih asli, bersih, dan tulen.
Di zaman Utman bin Affan (w. 35 H), terjadi ekspansi besar-besar wilayah negara Islam. Sehigga banyak sekali orang non-Arab yang masuk Islam. Ini adalah sisi baiknya. Sisi buruknya adalah kerusakan bahasa Arab karena percampuran antara orang Arab dan non-Arab sehingga di zaman itulah al-Qur`an dikodifikasi karena ditakutkan tidak terjaga dan juga karena banyak juga dari kalangan penghafal al-Qur`an yang syahid ketika perang.
Di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), bahasa Arab semakin rusak dan malakah orang Arab semakin pudar. Sampai akhirnya beliau memerintah Abul Aswad ad-Du`ali (w. 69 H) untuk mengkodifikasi ilmu Nahwu.
Akhirnya sampailah ke kekhilafan Bani Umayyah dimana banyak didapati para ulama mulai menkodifikasikan beberapa ilmu seperti kodifikasi hadis-hadis yang dimotori oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.101 H). Di masa dinasti Abbasiyah pertama, kodifikasi ilmu semakin gencar. Imam Syafi`i (w. 204 H) mengkodifikasi ilmu ushul fikih dengan kitab monumentalnya ar-Risalah.
2.      Pasca Kodifikasi
Ilmu Ulumul Qur`an tidak seperti ilmu lain yang terkodifikasi dengan berbagai tema dan pembahasannya. Pembahasan Ulumul Qur`an yang pertama terkodifikasi adalah imu tafsir. Kemudian setelah tafsir, sebagian ulama mengarang ilmu mengenai nasikh-mansukh, gharîb wa musykilul Qur`ân, i’râbul Qur`an, majâzul Qur`an, dan lain-lain sampai akhirnya semua ilmu-ilmu itu dikodifikasi dalam satu buku.  Untuk itu penulis bagi fase ini menjadi dua bagian lagi;
a.      Fase Ulumul Qur`an Tematik
Seperti yang sudah penulis singgung bahwa ulumul Qur`an terkondifikasi secara gradual. Kodifikasi pertama tentu mengenai ilmu tafsir. Sejak abad dua hijriyah sudah mulai buku-buku tafsir terkodifikasi oleh berbagai ulama. Di antara mereka adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160), Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H), Sufyan bin Uyainah (w. 194 H), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197 H). Tafsir-tafsir ini menghimpun perkataan-perkataan para sahabat dan tabiin.[16] Kemudian di abad ke-4 Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) menyusun tafsir yang cukup lengkap yang menghimpun atsar dan pendapat atau ijtihad.
Pada tema nasikh-mansuk, ada juga sebagian ulama yang mengarang dengen metode analisi ayat-ayat yang diindikasikan nasikh atau mansukh. Jadi studi mereka lebih condong ke aplikasi. Di antara yang mengarang tema nasik-mansuk adalah Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H), Abu Jakfar Ahmad bin Muhammad an-Nahhas (w. 338 H), Ibnu Hazm (w. 456 H)
Tema i’râb al-Qur`an ditulis oleh Muhammad bin Sa’id al-Hufi (w. 430 H). Tema I’jaz al-Qur`an ditulis ar-Rummani (w. 384 H), al-Khaththabi (w. 388 H), Abu Bakr al-Baqillani (w. 403 H). Tema majâz al-Qur`an ditulis Ibnu Qutaibah (w.276 H), al-‘Iz bin Abdus Salam (w. 660 H). dan lain-lain.

b.     Fase ulumul Qur`an Secara Utuh
Di fase ini para ulama menulis dan mengumpulkan semua pembahasan ulumul Qur`an dalam satu kitab secara utuh. Doktrin yang tersebar di kalangan penulis ulumul Qur`an itu bahwa istilah dan karangan buku ini muncul di abad ke-7 hijiriah. Namun az-Zurqani memandang bahwa ternyata sebelum abad itu sudah ada buku juga yang membahas ulumul Qur`an secara utuh, yaitu kitab al-Burhan fi Ulumil Qur`an karangan Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan nama al-Hufi (w. 330 H).
Di abad ke-6 muncul karangan baru berjudul “Funûn al-Afnân fî Ulûmil Qur’ân” dan “al-Mujtabâ fî Ulûm Tata’allaq bil Qur`ân” karangan Ibnul Jauzi (w. 597 H). kemudian di abad ke-7 muncul Alamuddin Ali bin Muhammad as-Sakhawi (w. 643 H) dengan karyanya “Jamâlul Qurrâ’”. Lalu di abad ke-8 muncul “al-Burhân fi Ulûmil Qur’ân” karya imam az-Zarkasyi (w. 794 H). Di abad ke- 9 muncullah karya monumental ulumul Qur`an yang berjudul “al-Itqan fi Ulumil Qur`an” yang ditulis oleh imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 991 H).

C.    Rambu-rambu Berinteraksi dengan al-Qur`an
Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan dalam kitabnya “Kaifa Nata’âmal Ma’al Qur’ân al-Azhîm” beberapa pedoman-pedoman ketika ingin menafsiri al-Qur’an. Penulis sebutkan saja secara global;
1.      Mensinkronkan antara riwayat dan dirayat
2.      Menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an
3.      Menafsiri al-Qur’an dengan hadis
4.      Menafsiri al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan tabiin
5.      Memperhatikan bahasa Arab yang digunakan dan penunjukan maknanya
6.      Memperhatikan konteks kalimat
7.      Memperhatikan asbab an-nuzul
8.      Menjadikan al-Qur`an itu pokok yang menjadi rujukan
Selain pedoman-pedoman di atas, Dr. Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai oleh seorang mufasir ketika hendak menafsiri sebuah ayat. Rambu-rabu tersebut penulis sebutkan secara global yaitu sebagai berikut:
1.      Hindari ayat-ayat mutasyâbihât[17] dan ambil yang muhkamât.
2.      Hindari takwil batil
3.      Hindari pendalilan al-Qur`an dengan ayat yang bukan konteksnya
4.      Klaim naskh tanpa dalil
5.      Tidak mengetahui atsar dan sunnah
6.      Nyeleneh dari Ijmak
7.      Lemahnya bekal keilmuan bahasa Arab atau ilmu syar’i
Dr. Ali Jum’ah dalam kitabnya “Wa Qâla al-Imâm al-Mabâdi` al-‘Uzhmâ” juga menyebutkan beberapa pedoman-pedoman untuk menafsiri al-Qur’an. Sebagai perbandingan dan pelengkap dengan yang disebutkan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas, penulis sebutkan pedoman perspektif Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah yaitu sebagai berikut:
a.      Sebelum masuk ranah penafsiran, seorang mufasir harus yakin dan percaya bahwa al-Qur’an itu kalam Allah. Ini akan berpengaruh pada rasa penghormatan kita ketika berbica tentang al-Qur’an. Berbeda dengan para orientalis yang tidak yakin bahwa al-Qur’an itu kalam Allah. Mereka akan kehilangan tata karma ketika menafsiri al-Qur’an.
b.      Seorang mufasir harus yakin bahwa al-Qur’an yang sekarang itu juga al-Qur’an yang diterima nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Tidak ada sedikit pun perubahan di dalamnya. Berbeda dengan Taurat dan Injil yang sudah dirubah sebagian besar isinya. Walaupun dalam al-Qur’an pun banyak pula qira’at yang berbeda wajah sehingga menimbulkan beda arti namun tidak menimbullkan kontradiksi sedikit pun sehingga mengeroposkan satu tiang pondasi Islam.
c.       Ketika mufasir ingin menafsiri, maka pikiran dia itu harus bebas dan tidak tersekat-sekat dengan tempat, waktu, kondisi, atau individu ketika ayat itu diturunkan. Ini karena al-Qur’an itu universal. Tidak untuk para sahabat saja. Dengan begitu al-Qur’an akan selalu relevan sepanjang zaman.
d.     Memperhatikan pondasi-pondasi bahasa Arab dengan baik. Pondasi-pondasi yang dimaksud adalah khashâish (karakteristik), qawâ’id (kaidah), qawânîn (aturan), dan asâlîb (gaya bahasa). Perlu diperdalam lagi juga keilmuan kita tentang huruf[18], kata, dan kalimat.
e.      Sebelum memberi tafsiran kepada sebuah ayat maka lihat lah ayat-ayat lain yang menyinggung tentang ayat itu karena ini akan menolong kita dari terpeleset pada jurang kontradiksi antara satu ayat dengan ayat, hadis atau pokok tiang Islam yang lain.
f.        Bacaan seorang mufasir tidak hanya terbatasi pada ulumul Qur`an, namun ada beberapa ilmu yang sering membantu memudahkan mufasir ketika menafsiri al-Qur’an seperti ilmu hadis, sastra dan bahasa.
g.       Meyakini dan berpedoman bahwa al-Qur’an itu tidak menyelisi penemuan ilmiah dan ilmu-ilmu pasti yang lain.
h.      Al-Qur’an adalah representasi dari asmaulllah al-husna, jadi seorang mufasir dituntut untuk mengaitkan semuanya dengan nama dan sifat-sifat Allah tadi. Agar semuanya berjalan selaras.
i.        Ketika menafsiri al-Qur’an maka bagaimana kah kita bisa mengaplikasikan  setiap ayat ada dengan kehidupan sekarang? Semua itu membutuhkan ilmu maqâshid asy-syarîah, hukum alam, nilai-nilai moral, dan lain-lain sehingga akan berjalan lurus.

III.             Kesimpulan dan Epilog
Inti dari mempelajari ilmu al-Qur’an adalah supaya kita bisa menafsiri al-Qur’an dengan benar. Al-Qur’an diturunkan di lingkungan yang berbeda. Dan juga diturunkan pada individu, waktu, dan kondisi yang berbeda dengan sekarang. Banyak istilah-istilah khusus pula yang digunakan oleh para ulama dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Sebagai mahasiswa asing dan yang hidup 14 abad setelah zaman wahyu, tentu kita butuh mempelajari semua itu.
Ilmu al-Qur’an tidak muncul sekaligus dengan bentuk yang sempurna. Ilmu al-Qur’an dengan luasnya itu dikarang oleh para ulama dengan pembahasan tematik. Ulama dulu lebih condong menulis pembahasan-pembahasan itu lebih ke aplikasinya. Tak jarang pula mereka menyisipinya pada buku-buku tafsir atau menjadikan pembahasan ilmu al-Qur’an sebagai mukadimah kitab tafsirnya.
Di masa sekarang, sudah mulai banyak kitab-kitab ilmu tafsir dengan berbagai corak. Ada yang menulisnya dengan metode tematik namun lebih focus pada teori. Ada juga yang mendaftarkan semua pembahasan namun sudah cukup lengkap seperti kitab ilmu al-Qur’an karangan salah satu ulama al-Azhar Kairo, Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani yang berjudul “Manâhilul ‘Irfân fî Ulûmil Qur’ân dan “al-Itqân fi Ulûmil Qur’ân” karangan salah satu ulama Yordania dengan kapasitas menyamai Az-Zurqani.
Akhirnya sebagai penulis pemula, saya mohon maaf akan kependekan ilmu dan tata krama dalam pemakaian bahasa yang kurang sopan. Kritik dan saran selalu penulis tunggu-tunggu demi peningkatan kualitas dan intelektualis ke depan. Wallâhu’alam bis shawâb.



Daftar Pustaka
Abu, Syahbah Muhammad Muhammad, al-Madkhal li Dirâsatil Qur’ân al-Karîm, Kairo, Maktabah Sunnah, cet. III, 2003.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Kaifa Nata’âmal Ma’al Qur’ân al-Azhîm, Kairo, Dar asy-Syuruq, cet. 7, 2009.
Az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad, al-Burhân fi Ulûmil Qur’ân, Kairo, Dari al-Hadis, tc, 2009.
Az-Zurqani, Muhammad Abdul Azhim, Manâhilul ‘Irfân fi Ulûmil Qur’ân, Kairo, Dar as-Salam, cet. III, 2010.
Darraz, Muhammad Abdullah, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm, Kuwait, Dar al-Qalam, cet. 5, 2003.
Muhammad, Ali Jum’ah, Wa Qâla al-Imâm al-Mabâdi’ al-‘Uzhmâ, Kairo, al-Wabil ash-Shayyib, cet. 1, 2010.
Al-Qaththan, Manna, Mabâhist fî Ulûmil Qur`ân, Kairo, Maktabah Wahbah, cet. 17, 2007.
Lasyin, Syahin Lasyin, al-La’âli` al-Hisân fi Ulûmil Qur`ân, Kairo, Dar asy-Syuruq, cet. I, 2002.




*Mahasiswa tingkat akhir jurusan syariah Islam universitas al-Azhar asy-Syarif Kairo.
[1] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’al Qur`an al-Azhim, Kairo, Dar asy-Syuruq, cet. 7, 2009, hlm. 461-462.
[2] Dr. Ali Jum’ah Muhammad, Wa Qala al-Imam al-Mabadi` al-‘Uzhma, Kairo, al-Wabil al-Shayyib, cet. I, 2010, hlm. 13.
[3] Kesemuanya ini adalah beberapa dari tujuan-tujuan al-Qur’an diturunkan menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya “Kaifa Nata’amal Ma’al Qur`an al-Azhim”.
[4] Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani, Manahilul Irfan, Kairo, Dar as-Salam, cet. III, 2010, hlm. 11.
[5] Menurut istilah ulama ahli hikmah, ilmu adalah diskripsi sesuatu yang ada pada akal. Ulama ilmu kalam mendefinisikan ilmu adalah sifat yang menyebakan sesuatu menjadi nampak jelas. Ulama syariat secara umum mendefinisikan ilmu adalah  mengetahui Allah dan ayat-ayat-Nya serta perbuatan Dia Sedangkan golongan Meterialistik mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan pasti yang dihasilkan oleh panca indra semata.
[6] Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani berpendapat bahwa pembahasan biografi (tokoh) juga masuk dalam definisi ilmu karena dalam disiplin ulumul hadis, ada pembahasan tersendiri mengenai tokoh-tokoh periwayat hadis. Begitupula Sa’duddin at-Taftazani berpendapat bahwa selain ilmu itu membahas pada tashdiqat, ada juga ilmu yang membahas tashawwurat. Maka dari sini Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani menyimpulkan bahwa ilmu menurut ulma disiplin ilmu umum itu mencakup pengetahuan-pengetahuan yang tersusun dengan satu tatanan baik objek pembahasannya sama atau tujuannya, baik pembahasannya itu tashawwur atau tashdiq. 
[7] Al-Qur’an memilik nama-nama lain. Yang terkenal itu ada 4 yaitu al-Furqan, al-Kitab, adz-Dzikr, dan at-Tanzil. Namun sebenarnya nama-nama al-Qur’an melebihi 90 nama. Ini berdasarkan pada ayat-ayat yang sering kali menyebutkan nama-nama al-Qur’an seperti surat al-Waqi’ah ayat 77, (إنه لقرآن كريم) dan surat al-Anbiya ayat 50 (هذا ذكر مبارك أنزلناه). Lihat karya Dr. Musa Syhin Lasyin yaitu al-La’ai al-Hisan fi Ulumil Qur’an halaman 12. Namun beberapa ulama seperti Mannad al-Qathan dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil Qur’an menjadikan Mubarak dan Karim itu sifat dari al-Qur’an dan bukan nama. Selain dua sifat itu juga ada Nur, Huda, Rahmah, Mauizhah, Syifa, Mubin, Busyra, Aziz, Majid, Basyir, Nadzir. Lihat  Mabahis fi Ulumil Qur`an halaman 18 cetakan Maktabah Wahbah ke-14 2007.
[8] Al-Qur’an jika dilihat sebagai kalam nafsi bil ma’na al-mashdari dan al hashil bil mashdar maka sudah tentu alam syakhsi. Sedangkan kalau yang dimaksud adalah kalam lafzhi maka para ulama berbeda pendapat. Apakah alam syahsi atau bukan. Pendapat yang menguasai adalah bahwa al-Qur’an alam syakhsi yang ditunjukan dengan ayat-ayat.. namun biar lebih jelas, penulis sebutkan 3 pendapat tentang hal ini;
 1. Pendapat yang mengtakan bahwa al-Qur’an itu alam syahsi yang ditunjukan dengan ayat-ayatnya. Untuk itu maka definisi al-Qur’an di atas itu bukan definisi secara hakiki. Definisinya hanya sekadar pembeda dengan kitab-kitab lain Allah seperti Taurat dan Injil.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa al-Qur`an itu kata yang diletakan untuk qadrun musytarak antara semua isi al-Qur`an dan sebagiannya seperti musytarak ma’nawi. Maka jika ada orang yang baca surat al-Fatihah, dia sudah dianggap membaca al-Qur`an.
3. al-Qur`an itu kata berjenis musytarak lafzhi, maksudnya dari awal peletakkannya memang sudah memiliki dua makna atau lebih, yaitu makna semua isi al-Qur`an atau sebagiannya saja.
[9] Dua alasan mengapa ulama ilmu kalam memandang al-Qur`an sebagai kalam nafsi;
a.        Karena al-Qur`an itu nama khusus dan berbeda dengan kalam-kalam Allah lainnya.
b.       Karena al-Qur`an itu sifat Allah yang qadim sehingga harus berupa kalam nafsi.
[10] Kalam disini hanya berupa diskripsi dan fenomena dari kata-kata hukum yang azali.
[11] Ini hanya dilihat bahwa pahatan itu hanya sebagai perantara untuk menerjemahkan kalam Allah yang terdahulu.
[12] Walaupun pendapat yang kuat bahwa al-Qur’an itu alam syahsi, namun bagaimanakah jika alam syakhsi itu didefinisikan? Bukankah alam syahsi tidak butuh definisi? Az-Zurqani menjawab dengan 3 jawaban sebagai berikut;
a.        Alam syahsi bisa didefinisikan namun hanya sekedar sebagai pembeda dari yang lainnya. Bukan untuk mendefinisikan ke-shaysiyahan-an alam tersebut.
b.       Definisi yang disebutkan itu hanya sekedar batasan pembeda.
c.        Menurut para ahli ushul fikih, boleh saja mendefinisikan alam syahsi, berbeda dengan ahli mantik.
[13] Definisi ini mencakup semua kerakteristik dan keistimewaan al-Qur`an yang mecakup I’jaz, tanzil, kitabah, naql, dan ta’abbud.
[14] Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasatil Qur`an al-Karim, Kairo, Maktabah as-Sunnah, cet.II, 2003, hlm. 26.
[15] Abu Bakr bin al-Arabi mengatakan bahwa ilmu al-Qur’an mencakup 77450 pembahasan. Ini berlandaskan jumlah kata-kata al-Qur`an dikali 4, karena setiap kata dalam al-Qur`an memiliki zhahir dan bathin serta had dan math’la. Dan bahkan jika ditelisik dari segi susunan kalimatnya maka pembahasannya tak terhitung. Lihat Qanun at-Ta`wil karya Abu Bakr bin al-Arabi, al-Burhan karya As-Suyuthi, Manahilur Irfan karya az-Zurqani.
[16] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, op.cit., hlm. 32-33.
[17] Para ulama berselisih tentang makna ayat-ayat mutasyabihat dan muhkamat, namun penulis lebih condong bahwa ayat muhkamat itu yang sudah jelas arti ayat tersebut sehingga tidak berpotensial menimbulkan perselisihan ulama, sedangkan mutasyabihat itu yang tidak jelas artinya dan sering kali memicu perselihan dan bahkan permusuhan antara umat Muslim.
[18] Huruf ada dua macam, yaitu huruf mabani (penyusun) dan ma’ani (bermakna). Huruf mabani adalah huruf hijaiyah dari alif sampai yang berjumlah 28.  Dan sebelumnya dikenal ada huruf Abjad. Sedankan huruf ma’ani, ada yang terdiri dari satu huruf seperti huruf wawu, fa, ba, ta, dan lain-lain.huruf ma’ani yang terbanyak terdiri dari 5 huruf yaitu “lakinna”. Setelah di cek ternyata huruf ma’ani berjumlah 90, yang masing-masing bisa memiliki lebih dari satu makna. Setelah diteliti makna-makna semua huruf itu mencapai 56 makna. Hanya sekitar 34 huruf yang mendapatkan kehormatan untuk disebutkan dalam al-Qur’an. Lihat Mughnil Labib karya Ibnu Hisyam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar