dgcfbvhnbnmbh
Sang Pencerah
Minggu, 30 Desember 2012
Akad Gabung antara Sewa dan Jual-Beli
Al-Ijârah al-Muntahiyah bi al-Tamlîk (IMT)[1]
Sewa - menyewa merupakan bentuk transaksi dan inventasi yang cukup
menggiurkan terutama bagi pihak bank yang memiliki banyak modal. Dalam
pembahasan fikih kuno tentu belum terlihat jelas inventasi sewa - menyewa
tersebut. Semakin berkembangnya zaman, orang semakin kreatif berfikir bagaimana
mendapatkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil kecilnya. Penulis akan
mencoba menelisik transaksi sewa - menyewa ini berjalan dalam perbankan
syariah. Kami bagi pembahasan ini dalam lima bagian; dari transaksi sewa -
menyewa dalam perbankan Islam, sejarah, kelebihan, proses, dan telisik syariat
tentang keilegalan transaksi tersebut.
A.
Definisi IMT
Muhammad Syafi’i Anthonio[2]
secara singkat mendefinisikannya adalah akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang di tangan penyewa.[3]
Namun penulis memandang defisini ini tidak mani[4],
karena akad sewa dan kepemindahan kepemilikan ini bisa saja terjadi dalam satu
akad, sedangkan ini tidak boleh dalam Islam, yang sering dikenal al-baiatan
fi bai’ah.
Dr. Wahbah Zuhaily[5]
mendefinisikan IMT dengan panjang lebar, namun penulis intikan bahwa IMT
menurut beliau adalah akad sewa dengan waktu tertentu dan upah yang agak
mahal dari biasanya dengan syarat pemberi sewa berjanji akan memindahkan
hak kepemilikan barang ke penyewa diakhir masa sewa atau sebelumnya setelah
penyewa sudah melunasi semua cicilan barang tersebut dengan akad baru baik
dengan jual beli atau hibah.[6]
Dilihat dari definisi di atas, akad ini mirip sekali dengan
jual-beli bi al-taqshit[7],
jika diakhiri dengan akad baru berupa jual-beli. Hanya saja dalam ba’i bi
at-taqshit, barang sudah menjadi milik pembeli karena jual beli sifatnya
abadi. Adapun dalam IMT, maka penyewa masih punya hak untuk tidak memiliki
kepemilikan barang seumpama dia tidak cocok. Ini tentu akan menyebabkan
kerugian baik dari penyewa (yaitu cicilan yang agak besar sebelumnya) atau
pemberi sewa (yaitu barang yang sudah dipakai penyewa terkadang sudah dibentuk
sesuka penyewa terutama jika barangnya berupa rumah).
Setelah penyewa
sudah melunasi banyak cicilan sewaan yang sudah disepakatinya dengan pemberi
sewa, maka mereka mengadakan akad baru untuk merubah status barang sewaan tadi
menjadi miliki penyewa. Terkadang memakai akad jual beli, baik dengan harga hakiki
atau harga simbolis. Tentu harganya tidak seberapa karena sudah dikurangi
dengan cicilan-cililan sebelumnya. Atau juga pemindahan kepemilikan barang
tersebut dengan akad hibah, sehingga penyewa tidak repot mengeluarkan uang
sepeserpun kala itu.
Akad sewa ini berbeda dengan sewa biasa yang dikenal
sekarang dengan nama ijârah tasyghiliyyah. Dalam akad sewa biasa
upah sewa itu wajar dan tidak semahal pada IMT. Kemudian pemberi sewa pun tidak
member janji ke penyewa untuk memindahkan kepemilikan barang ke dia.
B.
Sejarah IMT
Sejarah akad IMT merujuk ke undang-undang Inggris sekitar 50 tahun[8]
silam dimana mereka berinovasi untuk menciptakan akad sewa dan jual-beli. Akad
ini terkenal dengan istilah Hire Puchase (Inggris) atau Installment Buyying.[9]
Akad ini bertujuan untuk menarik para konsumen yang tidak memiliki modal cukup
untuk membeli barang. Yaitu dengan akad sewa dan jual beli angsuran secara
bersamaan. Tentunya ini tidak selaras dengan syariat Islam yang melarang adanya
dua transaksi dalam satu akad. Mulanya Undang-Undang Mesir menjadikan akad ini
seperti jual-beli bi at-taqshit. Kemudian Undang-Undang Prancis justru
memisahkan akad sewa dari jual-beli tersebut dengan menjadikannya akad
tersendiri di akhir masa sewa.[10]
Guru besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar Prof.
Dr. Ahmad Ali Thaha Rayyan menjelaskan bahwa akad IMT itu tidak muncul
dipermukan secara tiba-tiba. Namun ada sebab-sebab dan gradualisasinya. Mulanya
para pemilik modal di Barat tidak puas dengan mendapatkan untuk hanya dari upah
bulanan sewa atau untung jual-beli. Kemudian mereka memanfaatkan para konsumen
yang butuh barang namun kekurangan modal untuk ikut memakai transaksi ini
karena tidak harus sekaligus membayar harga barang, karena bisa dicicil dengan
jangka waktu lama. Namun harga cicilan tentu jauh mahal dari harga asli dan
bahkan terdapat riba di dalamnya. Faktanya di Amerika harga tumah kayu yang
kala itu dijual dengan harga 120. 000 dollar kontan, namun dengan akad
Installing Buyying, penyewa harus membayar 360.000 dollar walaupun dengan
cicilan selama 30 tahun.[11]
Jadi tujuan awal mereka dalam menciptakan akad baru ini adalah ada
dua. Pertama, supaya penyewa tidak ber-tasharruf pada barang
karena statusnya masih sewaan sampai dia melunasi semua cicilan. Kedua,
memperoleh untung sebesar-besarnya dari penyewa karena harga cicilan sangat
mahal dan ditambah dengan bunga.
Kemudian setelah itu akad ini disosialisasikan di negara-negara
Islam. Para ulama tidak langsung menerima mentah-mentah akad ini. Namun dikaji
dulu supaya sesuai dengan syariat Islam dan bisa dipraktekkan di masyarakat
terutama di bank-bank Islam. Setelah itu muncullah nama al Ijarah
al-Muntahiyah bi at-Tamlik ( Financial Lease With Purchase Option).
Perkumpulan para ulama digelar guna membahas kelegalan akad ini dalam Islam.
Akhirnya diadopsilah akad ini dengan polesan-polesan yang islami sehingga
menjadi halal.
C.
Model-model Transaksi IMT
Adapun
bentuk-bentuk transaksi IMT, menurut Dr. Wahbah Zuhaily ada 9 model, enam
dibolehkan sedangkan yang lainnya tidak boleh. Enam model yang dibolehkan
adalah sebagai berikut:
1.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari pemberi sewa bahwa dia
akan menjual barang sewaan ke penyewa diakhir masa sewa setelah dia sudah
melunasi semua cicilan. Transaksi semacam ini boleh karena di dalam akad sama
sekali tidak berkumpul dua akad.
2.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian diikuti dengan janji dari penyewa bahwa dia akan
menghibahkan barang sewaan itu ke penyewa setelah habis masa sewa dan lunas
cicilan. Ini juga seperti bentuk pertama, hanya saja akad keduanya berupa
hibah.
3.
Mengumpulkan
akad sewa dengan jual-beli dengan khiyâr syarat sampai jangka waktu
tertentu dan lama. Akad IMT semacam ini boleh menurut ulama yang membolehkan khiyâr
sampai jangka lama, yaitu pendapat Imam Ahmad, Abu Yusuf, dan Muhammad.
4.
Mengadakan
akad sewa kemudian jual beli secara terpisah tanpa ada janji. Ini jelas-jelas
boleh karena tidak ada perkumpulan dua akad.
5.
Mengadakan
akad sewa di awal kemudian setelah habis masa sewa, pemberi sewa memberikan 3
pilihan ke penyewa yaitu;
-
Membeli
barang sewaan dengan harga pasar.
-
Memperpanjang
masa sewa.
-
Mengakhiri
akad sewa dan mengembalikan barang sewaan ke pemberi sewa.
6.
Berhibah
dengan syarat melunasi cicilan. Bentuk ini walaupun aneh karena hibah adalah
pemberian dari satu pihak namun ini dibolehkan. Ini terkenal dengan hibah yang
di-ta’liq dengan syarat.
Adapun tiga bentuk lain yang tidak
dibolehkan adalah;
1.
Mengadakan
akad sewa dan jual-beli dalam satu transaksi. Akad ini dilarang karena Nabi
tidak membolehkan berkumpulnya dua akad dalam satu transaksi.
2.
Bank
membeli barang ke pabrik (misalkan) kemudian menyewakannya ke penjual tadi
dengan janji bahwa bank akan menjual atau menghibahkan barang itu ke dia di
akhir pelunasan cicilan dan akhir masa sewa. Akad ini dilarang karena
menyerupai jual-beli înah[12].
3.
Bank
menyewakan barang ke penyewa dan juga menjualnya ke penyewa dengan syarat
pelunasan cicilan
D.
Proses Transaksi IMT
Biasanya sebuah pabrik membutuhkan peralatan-peralatan kerja dengan
jumlah yang banyak. Namun dana belum mencukupi, sehingga terpaksa untuk lari ke
bank misalnya untuk membantu menyediakan peralatan-peralatan tadi melalui
kesepakatan akad IMT. Dr. Husain Husen Syahatah[13]
menyebutkan 8 langkah untuk melakukan akad IMT ini[14]:
1.
Mengajukan
proposal permintaan barang yang dibutuhkan oleh perusahaan atau konsumen dengan
dengan isi sifat barang yang dipesan, perkiraan harga, sumber barang, dan
lain-lain.
2.
Pihak
bank mempelajari terlebih dahulu proposal tersebut.
3.
Tanda
tangan dari berbagai pihak bank sebagai tanda persetujuan.
4.
Mengadakan
akad dengan perusahaan atau konsumen tadi sebagaimana yang tertuliskan di
proposal.
5.
Bank
membeli barang sebagaimana permintaan perusahaan atau konsumen.
6.
Mengadakan
akad sewa dan penyerahan barang tersebut.
7.
Pengawasan
terus-menerus dari bank terhadap barang sewaan tadi.
8.
Di
akhir masa sewa dan lunasnya cicilan, pihak bank melaksanakan janjinya berupa
pemindahan kepemilihan barang baik dengan hibah atau jual-beli.
E.
Perspektif Syariah Tentang Akad IMT
Para ulama kontemporer banyak yang membolehkan akad IMT ini dengan
bentuk-bentuk yang sudah penulis jelaskan di atas. Sebelum menjabarkan
alasan-alasan mereka, ada baiknya kami jelaskan dulu beberapa kekhawatiran-khawatiran
yang mungkin menjadi sebab akad IMT tidak syar’i. Diantara
kekhawatiran-kekhawatiran tersebut adalah;
1.
Apakah
janji itu mengikat?
Dalam akad IMT, pemberi sewa menjanjikan ke penyewa bahwa dia akan
menyerahan kepemilikan barang sewaan ke penyewa baik dengan hibah atau
jual-beli. Mayoritas ulama berpendapat bahwa janji itu mengikat
(mulzim) secara agama namun tidak secara peradilan. Namun ulama Hanafiyah
menjadikan janji itu mengikat jika disandarkan pada sesuatu. Dalam kasus IMT
tentu pemberi menyandarkan janjinya tersebut dengan pelunasan peyewa terhadapa
cicilan sewanya. Jadi pihak pemberi sewa wajib melaksanakan janjinya itu baik
dilihat dari perspektif agama maupun peradilan. Ulama malikiyah mewajibkan
janji harus dilaksanakan jika disandarkan pada pembebanan financial terhadap
orang yang diberi janji, dalam hal ini adalah penyewa dibebani cicilan sewaan,
maka pemberi janji harus melaksanakan janjinya itu. dan jika pemberi janji
tidak melaksanakan janjinya maka dia wajib mengganti ganti rugi atas cicilan
yang sudah dibayar penyewa.
2.
Berkumpulnya
dua akad dalam satu akad
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Nabi melarang berkumpulnya
dua akad dalam satu akad. diantara hadis yang menunjukan hal tersebut adalah
sebagai berikut;
(نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن بيعتين في
بيعة)[15] -
(نهي النبي عن صفقتين في صفقة واحدة)[17] -
Dari hadis-hadis di atas, jelas sekali bahwa
tidak boleh sekaligus bertransaksi dalam satu akad. Namun kenyataannya IMT dengan
bentuk yang dihalalkan itu tidak terjadi dua transaksi dalam satu akad itu.
akad sewa dan kepemindahan kepemilakannya itu terpisah walaupun dibarengi
dengan janji, namun janji bukan termasuk akad.
3. Mengadakan asuransi terhadap objek sewaan
Untuk menjaga barang sewaan tersebut,
biasanya pihak pemberi sewa menansuransikan barang sewaan supaya tetap terjaga.
Asuransi tadi biasanya dilaksanakan oleh pemberi sewa, namun jika dilaksanakan
oleh penyewa maka itu boleh juga jika atas kerelaan dia. Dan akad asuransi itu
sama sekali tidak merusak akad IMT karena di tidak berkaitan dengannya.
4. Bank
menyewakan barang sebelum menerimanya dari pabrik
IMT biasanya terdiri dari tiga pihak;
penyewa, bank dan pabrik produksen. Disyaratkan pihak bank sudah menerima barang
sewaan dari pabrik untuk selanjutnya disewakan ke konsumen. Karena Nabi sendiri
melarang jual beli pada sesuatu yang belum diterima:
(لا تبع ما ليس
عندك)[18].
5. Jual-beli dengan harga simbolik atau hibah
Setelah penyewa melunasi semua cicilan
sewaan, maka pihak bank harus melaksanakan janjinya untuk memindahkan
kepemilikan barang sewaan baik denga jual-beli atau hibah. Jual-beli disini
bisa dengan harga pasar atau harga simbolik/formalitas. Seperti yang kita tahu
bahwa transaksi seperti ini boleh karena manusia bebas untuk mentransaksikan
barangnya asalkan tidak ada unsur ekskploitasi atau riba.
Setelah sudah kami jabarkan beberapa
kekhawatiran-kekhawatiran yang mengancam kesyar’ian akad IMT, sekarang mari
kita menelisik berbagai alasan-alasan ulama mengapa menhalalkan transaksi IMT
dengan bentuk yang kami jelaskan sebelumnya;
-
Akad sewa tidak digabung dalam satu akad dengan akad
jual-beli atau hibah sehingga tidak termasuk dalam akad yang dilarang oleh Nabi
dimana beliau melarang berkumpulnya dua akad pada satu transaksi.
-
Hukum asal dari akad dan syarat adalah boleh, selagi
tidak menyalahi ayat, hadis, kaidah umum, atau hukum asal dari akad tersebut.
-
Adanya janji yang menyertai akad IMT tidak merubah
kesyar’iannya. Dan akad inipun tidak ada unsur riba, ketidaktahuan, atau
penipuan karena ketika akad sudah dijelaskan beberapa kreteria-kreteria serta
unsur-unsur akad secara gamblang.
VI.
Epilog
Akad sewa sebenarnya sangat luas sekali.
Kami hanya singgung sekelumit saja. Makalah ini hanya sebagai pengantar bagi
siapa yang ingin masuk ke dunia ekonomi Islam terutama pembahasan akad
sewa-menyewa. Kami paham sekali bahwa makalah yang ada ini cukup minim untuk
menjadi bahan diskusian kita di Pakeis, namun semoga banyak teman-teman yang
menambahi dan mengingatkan jika ada yang salah. Semoga bermanfaat bagi
kawan-kawan. Wallâhu’alam bi as-shawâb.
Daftar Pustaka
Al-Jaziry, Abdurrahman, al-Fiqh ‘Ala al- Madzâhib al- ‘Arba’ah,
vol. III, Dar at-Taqwâ,Syubra al-
Khaimah, 2003.
Al-Qurthuby, Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyat
al-Muqtashid, vol. II, Dar al-Hadits, Kairo, 2004.
Al-Syirbiny, Khatib, Mughnil Muhtâj, vol. IV, Dar
al-Ma`rifah, Beirut, cet. III, 2007.
Antonio,
Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema
Insani, cet. VIII, 2004.
Dawwabah,
Asyraf Muhammad, Al-Istitsmâr fi
al-Islâm, Dar as-Salam, cet. I , Kairo, 2009.
Guru-guru
Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhâya Fiqhiyyah Mu’âshirah,
vol. II, Kairo, tp, tt.
Hamzah,
Mahmud, al-Faraid al-Bahiyyah fi al-Qawânin al-Fiqhiyyah. tp., tc., th.
Syahatah, Husain Husain, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlîk, tp, Kairo, th.
Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi
Bank Islam Teori dan Praktek, Kairo, ICMI, cet. III, 2005.
Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu, vol. IV,
Dar al-Fikr, Damaskus, cet. XXXII, 2010.
[1]
Dalam dunia barat sering dikenal dengan istilah hire-purchase.
[2]
Muhammad Syafi’i Antonio lahir pada 12 Mei 1967 dengan nama asli Nio Gwan Liem
Soen Nio dan Nio Sem Nyau. Sekalipun dibesarkan di tengah keluarga Kong Hu Chu
dan Kristen, pengembaraannya mencari kebenaran menghantarkannya ke haribaan
Islam. Pernah mondok di Pondok Pesantren Sukabumi dan sempat hafal matan al-Fiyah
Ibn Malik. Tahun 1990 , beliau lulus dari Fakultas Syariah dan Ekonomi
Universitas Yordania serta mengikuti program Islamic Studies di Universitas
al-Azhar Kairo. Perintis Bank Muamalat dan Asuransi Takaful ini mendapat Master
of Economics dari International Islamic University Malaysia dan melanjutkan
program diktoral di Universitas Melbourne.
[3]
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta,
Gema Insani, 2004, cet. VIII, hal. 118.
[4]
Mani’ maksudnya mengeluarkan unsur-unsur yang bukan termasuk dalam
sebuah definisi. Selain mani, definisi juga harus jami, yaitu
mencakup unsur-unsur dari definisi tersebut.
[5]
Dr. Wahbah Zuhaily dilahirkan di desa Dir Athiyah, daerah Qalmun, Damaskus,
Syria pada 6 Maret 1932 M/1351 H. Beliau mendapat pendidikan dasar di desanya,
Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di
Damaskus selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya,
yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di
Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang
bersamaan. Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh
gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”,dan
merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral
yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh
al-Islamy”.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wal Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fikih, tafsir dan studi-studi Islam.
Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di fakultas Syari’ah Universitas Damaskus dan secara berturut - turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan al-Fiqh al-Islami wal Madzahabih di fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fikih, tafsir dan studi-studi Islam.
[6]
Dr. Wahbah Zuhaily, al-Muâmalat al-Mâliyah al-Muâshirah, Damaskus, Dar
al-Fikr, 2008, cet. VI, hal. 393.
[7]
Secara mudah dan singkat definisi dari jual-beli bi at-taqshit adalah
jual-beli kredit dengan waktu tertentu dan
harga yang tentunya lebih mahal dari harga kontan.
[8]
Tim penyusun Serial Studi Ekonomi Islam, Produk-produk Investasi Bank Islam
Teori dan Praktek, Kairo, ICMI,
2005, cet. III, hal. 215.
[10]
Dr. Wahbah Zuhaily, op. cit., hal. 396.
[11]
Guru-guru Besar Fikih Komparasi Universitas al-Azhar, Qadhaya Fiqhiyyah
Mu’ashirah, vol. II, Kairo, tp, tt, hal. 32.
[12]
Untuk lebih jelas model dari jual-beli înah
adalah misalkan A menjual pensil ke B dengan harga Rp. 1000 kontan, kemudian B kembali menjual barang itu
ke A dengan harga Rp. 1200 namun hutang. Jadi barang masih di tangan A,
kemudian A mendapatkan Rp. 1000 yang nantinya dia harus membayar Rp. 1200.
Seolah-olah A hanya ingin meminjam uang ke B namun dengan bunga Rp. 200, dan
pensilnya itu hanya muslihat untuk jalan melegalkan akadnya.
[13]
Salah satu ulama al-Azhar yang fokus pada studi ekonomi Islam. Mengajar di
fakultas Perdagangan universitas al-Azhar Kairo. Sering mengikuti berbagai
muktamar tentang ekonomi Islam di berbagai negara. Karangannya sudah cukup
banyak baik berupa buku maupun masih berupa makalah dalam muktamar.
[14]
Dr. Husain Husain Shahatah, al-Ijârah al-Muntahiyah bi at-Tamlik, tp,
Kairo, tt, hal. 7-9.
[15]
HR. Ahmad, Malik, an-Nasa’I, dan at-Tirmidzi.
[16]
HR. Abu Dawud.
[17]
HR. Ahmad, al-Bazzar, dan al-Thabrany.
[18] HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu
Majah.
Kajian Reguler
al-Wasathiyah
Pimpinan Cabang
Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir
Selasa, 24 Dzulqa’dah 1433 H/ 2 Oktober 2012
Studi
Pengantar dan Sejarah Ulumul Qur`an
Oleh: Khaerul
Anam*
I.
Prolog
Al-Qur`an
adalah kitab yang bersumber dari Allah swt. untuk umat semesta. Kitab yang
selalu relevan untuk segala zaman. Karena dia kitab yang sangat jelas dan mudah
dipahami. Kitab yang mencakup semua permasalahan agama. Kitab yang juga
mukjizat monumental Nabi yang selalu terjaga dari tangan-tangan jail sepanjang
zaman.[1] Al-Qur’an juga poros kebudayaan dari zaman
dulu yang menelorkan peradaban ilmu pengetahuan yang canggih.[2] Sehingga
dulu Islam maju disaat Negara-negara Barat masih di kegelapan kebodohan.
Al-Qur’an datang untuk meluruskan
akidah, mengangkat kehormatan dan hak-hak manusia terutama perempuan dan orang
tertindas seperti budak, menunjukkan siapa lah yang wajib disembah,
membersihkan jiwa, merintis keluarga harmonis, mencetak generasi harapan, dan
mengajak kepada saling peduli dan tolong menolong.[3]
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab
yang dihapal oleh jutaan orang. Kitab yang bisa menjadikan orang menangis
walaupun pembacanya tidak paham artinya. Al-Qur’an lah satu-satunya kitab yang
tidak pernah berubah bacaannya walau satu harakat dari 14 abad silam.
Al-Qur’an adalah undang-undang agama
dan dunia (politik). Al-Qur’an pedoman semua lapisan umat manusia. Untuk
memahaminya juga butuh ilmu-ilmu yang erat hubugannya dengan bahasa Arab dimana
al-Qur’an diturunkan di Arab. Dan juga berhubungan dengan ilmu-ilmu syariat
yang bersifat sam’iyat dimana statusnya tauqiqi dan harus
diimani. Kita harus percaya tanpa mengatakan mengapa.
Al-Qur’an, untuk memahaminya, butuh
ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Ilmu tersebut terkenal dengan disiplin ilmu
al-Qur`an. Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna dan lengkap. Makanya tak heran
jika pembahasan ilmu al-Qur`an bak lautan tak berpantai. Namun itu tak menjadi
alasan kita untuk mengarungi lautan tersebut. Untuk mengarungi ilmu-ilmu
tersebut maka penulis susun sedikit tentang pengantar dan sejarah ilmu
al-Qur’an. Semoga makalah mungil ini bisa menjadi pengantar yang baik untuk
lebih mendalami ilmu al-Qur`an ini.
II. Pembahasan
A. Definisi
Ulumul Qur’an
1.
Definisi Ulum
Ulum
adalah bentuk plural dari ‘ilmu yang secara etimologi memilik arti ma’rifah
(pengetahuan), fahm (pemahaman) atau al-jazm fi ar-ra’y
(kemantapan dalam berpendapat).[4]
Adapun secara terminologi[5]
ilmu disiplin ilmu secara umum, az-Zurqani menyebutkan ada tiga definisi yaitu
sebagai berikut;
a.
Ilmu adalah pembahasan-pembahasan
yang dibatasi pada satu disiplin (ilmu) baik berupa teori umum, dharûri,
atau parsial.[6]
b.
Ilmu adalah mengetahui pengetahuan-pengetahuan yang
disebutkan di atas.
c.
Ilmu adalah kemampuan yang sudah melekat pada jiwa
seseorang.
Dari tiga definisi di atas, definisi
yang pertamalah yang paling cocok untuk diterima karena kata ilmu secara tidak
langsung kalau disebutkan itu akan dipahami disiplin ilmu (at-tabâdur),
dan yang demikian adalah ciri-ciri bahwa arti itulah yang hakikat/asli.
2.
Definisi al-Qur`an[7]
Secara
etimologi, para ulama berselisih asal mula kata al-Qur’an. Pendapat-pendapat
mereka adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qur`an dari kata qara`a atau qirâ`ah yang
artinya membaca atau bacaan. Ini adalah pendapat al-Lihyani dan beberapa ulama.
b.
Al-Qur`an dari al-qar’u yang artinya mengumpulkan.
Ini pendapat imam az-Zajjaj.
c.
Al-Qur`an dari kata qarâ`in yang artinya serupa dan
mirip, karena ayat satu dengan lainnya hampir mirip atau saling menyamai.
Pendapat ini dianut imam al-Farra.
d.
Al-Qur`an dari kata qarana yang artinya menghimpun.
Ini pendapat imam al-‘Asy’ari dan golongan lain.
e.
Al-Qur`an itu nama yang tidak ada asalnya (alam murtajal)[8].
Pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi’i.
Dari
lima pendapat di atas, pendapat pertamalah yang paling kuat. Para ulama juga
lebih condong untuk mengambil pendapat pertama.
Sebelum
membahas definisi al-Qur`an secara terminologi, izinkanlah saya untuk
menjelaskan tentang hakekat kalam. Berhubung al-Qur`an itu juga firman Allah
swt. (kalâmullâh). Kalam ada empat macam;
-
Kalâm Basyari Lafzhî bil Ma’nâ al-Mashdarî yaitu proses bergeraknya mulut untuk
mengeluarkan huruf-huruf dari tempatnya.
-
Kalâm Lafzhî bil Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar yaitu kata-kata yang diucapkan manusia
untuk memahamkan pendengar.
-
Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Mashdarî yaitu mendatangkan arti-arti pada otak
tanpa diucapkan sehingga hanya berupa bayangan-bayangan teratur yang jika
dikeluarkan lewat mulut maka akan menjadi kalam lafzhi.
-
Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar yaitu kata atau arti yang teratur dan
berada di otak tanpa dikeluarkan.
Al-Qur`an
Perspektif Ulama Ilmu Kalam
Adapun
al-Qur`an, terkadang juga disebut sebagai kalâm lafzhî dan juga kalâm
nafsî. Yang menyebutkan bahwa al-Qur`an dengan sebutan kalâm nafsî
adalah ulama ilmu kalam karena kerjaan mereka adalah membahas sifat-sifat Allah
swt.[9]
Sedangkan yang memakai penamaan al-Qur`an itu kalâm lafzhi adalah para
ulama ushul fikih, fikih, dan bahasa Arab. Ini karena kesibukan mereka itu pada
pendalilan hukum dengan lafazh-lafazh dan pembahasan segi i’jâz
bahasanya bagi ulama bahasa Arab. Terkadang ulama ilmu kalam memandang
al-Qur`an sebagai kalâm lafzhî dari segi akan mengimani
kitab-kitab Allah yang diturunkan ke bumi dan penetapan kenabian Muhammad. Itu
semua didasarkan dengan al-Qur`an melalui lafazh-lafazh-nya.
Dari
pembagian 4 kalam di atas, bisa didefinisikan kalâmullâh an-nafsî
sebagai berikut;
a.
Kalâm Nafsî bil Ma’nâ al-Mashdarî (proses) adalah sifat terdahulu yang
berhubungan dengan kata-kata hukum (al-Qur`an) dari al-Fatihah sampai an-Nas.
b.
Kalâm Nafsî bil
Ma’nâ al-Hâshil bil Mashdar (hasil) adalah kata-kata hukum azali yang
teratur tanpa ada huruf dan suara.
Sebagian
ulama ilmu kalam juga mendefinisikan al-Qu`an sebagaimna didefiniskan oleh
ulama ushul fikih dan fikih, yaitu kalam yang diturunkan ke nabi Muhammad dan
bermula dari surat al-Fatihah sampai an-Nas.[10]
Mereka juga ada yang mendefinikan bahwa al-Qur`an adalah pahatan-pahatan yang
ada di mushaf.[11]
Al-Qur`an Perspektif Fuqaha, Ulama
Ushul Fikih dan Bahasa Arab
Dalam mendefinisikan al-Qur`an[12],
mereka pun berbeda pendapat. Penulis ringkas saja sebagai berikut:
a.
Ulama yang memperpanjang definisi yaitu kalâmullah
yang bermukjizat (i’jâz) dan diturun ke Nabi Muhammad (inzâl),
ditulis dalam mushaf (kitabah), ditransformasi secara mutawatir (tawâtur)
dan membacanya dinilai ibadah (ta’abbud). [13]
b.
Ulama yang hanya meringkas definisi al-Qur’an dengan satu
karakteristiknya saja, yaitu i’jâz. Alasanya adalah karena i’jâz
adalah sifat objektifitas al-Qur’an yang tidak bisa dipisahkan dan sebagai bukti
monumental akan kebenaran nabi Muhammad Saw.
c.
Ulama lain meringkas dengan dua karakteristik yaitu al-inzal
dan al-i’jâz karena dua sifat ini cukup untuk mencapai tujuan
pendefinisian al-Qur’an.
d.
Ada juga yang meringkas dengan dua karakteristik yaitu tawâtur
dan kitâbah karena 2 sifat itu cukup untuk membedakannya dengan
kitab-kitab lain.
e.
Pendapat terakhir menjadikan 3 karakteristik dalam definisi
al-Qur’an yaitu inzâl, tawâtur dan ta’abbud. Karena 3 sifat ini
cocok dengan tujuan para ahli ushul fikih.
Dari
pengertian ilmu dan al-Qur’an di atas maka dapat disimpulkan arti dan definisi
al-Qur`an baik dilihat dari susunannya atau dilihat sebagai disiplin ilmu. Dari
susunannya maka jelas bahwa Ulumul Qur`an itu berarti ilmu-ilmu yang berkaitan
dengan al-Qur`an seperti ilmu tafsir, ilmu qira`at, ilmu nasikh dan mansukh,
ilmu i’jâzul qur`ân, ilmu i’râbul qur`ân, dan lain-lain.
Sedangkan diliat sebagai disiplin ilmu, Ulumul Qur`an adalah ilmu yang memliki
pembahasan-pembahasan berkaitan dengan al-Qur`an berupa ilmu nuzûl al-Qur`ân,
susunannya, kodifikasinya, tafsirnya, nasikh-mansukhnya, dan lain-lain.[14]
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa objek pembahasan[15]
al-Qur`an adalah al-Qur`an itu sendiri dari segi ilmu tafsirnya,
nasikh-mansuknya, muhkam mutasyabihatnya, dan lain-lain.
B.
Sejarah Ulumul Qur’an
Pembahasan
masalah sejarah ulumul Qur`an akan penulis bagi menjadi dua fase yaitu fase
sebelum kodifikasi dan pasca kodifikasi.
1.
Sebelum Kodifikasi
Al-Qur`an
diturunkan mengikuti kejadian-kejadian yang ada di zaman Nabi dan tidak
sekaligus langung turun satu kitab. Setiap ayat atau surat yang turun, Nabi
ajarkan ke para sahabat dengan pelan-pelan dan dijelaskan pula tafsirannya.
Terkadang para sahabat juga bertanya tentang ayat-ayat yang sulit dipahami.
Dengan berjalannya waktu, para sahabat semakin pintar dan ilmu-ilmu al-Qur`an
pun melekat pada jiwa dan akal mereka.
Namun
ketika itu nabi melarang sahabat untuk menulis apa yang mereka dengar dari Nabi
kecuali al-Qur`an karena ditakutkan akan bercampur-campur antara satu dan lain.
Para sahabat terkenal kuat hapalannya, walaupun mereka banyak yang buta huruf.
Bait-bait sya’ir cukup sekali saja didengarkan, mereka akan hafal. Mungkin
dengan faktor-faktor yang semacam inilah ulumul Qur`an belum dikodifikasi. Dan
bahkan mungkin para sahabat belum perlu, karena pemahaman bahasa Arab mereka
juga masih asli, bersih, dan tulen.
Di
zaman Utman bin Affan (w. 35 H), terjadi ekspansi besar-besar wilayah negara
Islam. Sehigga banyak sekali orang non-Arab yang masuk Islam. Ini adalah sisi
baiknya. Sisi buruknya adalah kerusakan bahasa Arab karena percampuran antara
orang Arab dan non-Arab sehingga di zaman itulah al-Qur`an dikodifikasi karena
ditakutkan tidak terjaga dan juga karena banyak juga dari kalangan penghafal
al-Qur`an yang syahid ketika perang.
Di
zaman khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), bahasa Arab semakin rusak dan
malakah orang Arab semakin pudar. Sampai akhirnya beliau memerintah Abul Aswad
ad-Du`ali (w. 69 H) untuk mengkodifikasi ilmu Nahwu.
Akhirnya
sampailah ke kekhilafan Bani Umayyah dimana banyak didapati para ulama mulai
menkodifikasikan beberapa ilmu seperti kodifikasi hadis-hadis yang dimotori
oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.101 H). Di masa dinasti Abbasiyah pertama,
kodifikasi ilmu semakin gencar. Imam Syafi`i (w. 204 H) mengkodifikasi ilmu
ushul fikih dengan kitab monumentalnya ar-Risalah.
2.
Pasca Kodifikasi
Ilmu Ulumul
Qur`an tidak seperti ilmu lain yang terkodifikasi dengan berbagai tema dan
pembahasannya. Pembahasan Ulumul Qur`an yang pertama terkodifikasi adalah imu
tafsir. Kemudian setelah tafsir, sebagian ulama mengarang ilmu mengenai
nasikh-mansukh, gharîb wa musykilul Qur`ân, i’râbul Qur`an, majâzul
Qur`an, dan lain-lain sampai akhirnya semua ilmu-ilmu itu dikodifikasi
dalam satu buku. Untuk itu penulis bagi
fase ini menjadi dua bagian lagi;
a.
Fase Ulumul Qur`an Tematik
Seperti
yang sudah penulis singgung bahwa ulumul Qur`an terkondifikasi secara gradual.
Kodifikasi pertama tentu mengenai ilmu tafsir. Sejak abad dua hijriyah sudah
mulai buku-buku tafsir terkodifikasi oleh berbagai ulama. Di antara mereka
adalah Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160), Sufyan
ats-Tsauri (w. 161 H), Sufyan bin Uyainah (w. 194 H), Waki’ bin al-Jarrah (w.
197 H). Tafsir-tafsir ini menghimpun perkataan-perkataan para sahabat dan tabiin.[16]
Kemudian di abad ke-4 Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H) menyusun tafsir yang
cukup lengkap yang menghimpun atsar dan pendapat atau ijtihad.
Pada
tema nasikh-mansuk, ada juga sebagian ulama yang mengarang dengen metode
analisi ayat-ayat yang diindikasikan nasikh atau mansukh. Jadi studi mereka
lebih condong ke aplikasi. Di antara yang mengarang tema nasik-mansuk adalah
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H), Abu Jakfar Ahmad bin Muhammad
an-Nahhas (w. 338 H), Ibnu Hazm (w. 456 H)
Tema
i’râb al-Qur`an ditulis oleh Muhammad bin Sa’id al-Hufi (w. 430 H). Tema
I’jaz al-Qur`an ditulis ar-Rummani (w. 384 H), al-Khaththabi (w. 388 H), Abu
Bakr al-Baqillani (w. 403 H). Tema majâz al-Qur`an ditulis Ibnu Qutaibah
(w.276 H), al-‘Iz bin Abdus Salam (w. 660 H). dan lain-lain.
b.
Fase ulumul Qur`an Secara Utuh
Di fase ini para
ulama menulis dan mengumpulkan semua pembahasan ulumul Qur`an dalam satu kitab
secara utuh. Doktrin yang tersebar di kalangan penulis ulumul Qur`an itu bahwa
istilah dan karangan buku ini muncul di abad ke-7 hijiriah. Namun az-Zurqani
memandang bahwa ternyata sebelum abad itu sudah ada buku juga yang membahas
ulumul Qur`an secara utuh, yaitu kitab al-Burhan fi Ulumil Qur`an karangan Ali
bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan nama al-Hufi (w. 330 H).
Di abad ke-6 muncul karangan baru
berjudul “Funûn al-Afnân fî Ulûmil Qur’ân” dan “al-Mujtabâ fî Ulûm Tata’allaq
bil Qur`ân” karangan Ibnul Jauzi (w. 597 H). kemudian di abad ke-7 muncul
Alamuddin Ali bin Muhammad as-Sakhawi (w. 643 H) dengan karyanya “Jamâlul
Qurrâ’”. Lalu di abad ke-8 muncul “al-Burhân fi Ulûmil Qur’ân” karya
imam az-Zarkasyi (w. 794 H). Di abad ke- 9 muncullah karya monumental ulumul
Qur`an yang berjudul “al-Itqan fi Ulumil Qur`an” yang ditulis oleh imam
Jalaluddin as-Suyuthi (w. 991 H).
C.
Rambu-rambu Berinteraksi dengan
al-Qur`an
Dr.
Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan dalam kitabnya “Kaifa Nata’âmal Ma’al Qur’ân
al-Azhîm” beberapa pedoman-pedoman ketika ingin menafsiri al-Qur’an.
Penulis sebutkan saja secara global;
1.
Mensinkronkan antara riwayat dan dirayat
2.
Menafsiri al-Qur’an dengan al-Qur’an
3.
Menafsiri al-Qur’an dengan hadis
4.
Menafsiri al-Qur’an dengan perkataan sahabat dan tabiin
5.
Memperhatikan bahasa Arab yang digunakan dan penunjukan
maknanya
6.
Memperhatikan konteks kalimat
7.
Memperhatikan asbab an-nuzul
8.
Menjadikan al-Qur`an itu pokok yang menjadi rujukan
Selain pedoman-pedoman di atas, Dr.
Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai
oleh seorang mufasir ketika hendak menafsiri sebuah ayat. Rambu-rabu tersebut
penulis sebutkan secara global yaitu sebagai berikut:
1.
Hindari ayat-ayat mutasyâbihât[17]
dan ambil yang muhkamât.
2.
Hindari takwil batil
3.
Hindari pendalilan al-Qur`an dengan ayat yang bukan
konteksnya
4.
Klaim naskh tanpa dalil
5.
Tidak mengetahui atsar dan sunnah
6.
Nyeleneh
dari Ijmak
7.
Lemahnya bekal keilmuan bahasa Arab atau ilmu syar’i
Dr.
Ali Jum’ah dalam kitabnya “Wa Qâla al-Imâm al-Mabâdi` al-‘Uzhmâ” juga
menyebutkan beberapa pedoman-pedoman untuk menafsiri al-Qur’an. Sebagai
perbandingan dan pelengkap dengan yang disebutkan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di
atas, penulis sebutkan pedoman perspektif Mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah yaitu
sebagai berikut:
a.
Sebelum masuk ranah penafsiran, seorang mufasir harus yakin
dan percaya bahwa al-Qur’an itu kalam Allah. Ini akan berpengaruh pada rasa
penghormatan kita ketika berbica tentang al-Qur’an. Berbeda dengan para
orientalis yang tidak yakin bahwa al-Qur’an itu kalam Allah. Mereka akan
kehilangan tata karma ketika menafsiri al-Qur’an.
b.
Seorang mufasir harus yakin bahwa al-Qur’an yang sekarang
itu juga al-Qur’an yang diterima nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Tidak
ada sedikit pun perubahan di dalamnya. Berbeda dengan Taurat dan Injil yang
sudah dirubah sebagian besar isinya. Walaupun dalam al-Qur’an pun banyak pula
qira’at yang berbeda wajah sehingga menimbulkan beda arti namun tidak
menimbullkan kontradiksi sedikit pun sehingga mengeroposkan satu tiang pondasi
Islam.
c.
Ketika mufasir ingin menafsiri, maka pikiran dia itu harus
bebas dan tidak tersekat-sekat dengan tempat, waktu, kondisi, atau individu
ketika ayat itu diturunkan. Ini karena al-Qur’an itu universal. Tidak untuk
para sahabat saja. Dengan begitu al-Qur’an akan selalu relevan sepanjang zaman.
d.
Memperhatikan pondasi-pondasi bahasa Arab dengan baik.
Pondasi-pondasi yang dimaksud adalah khashâish (karakteristik), qawâ’id
(kaidah), qawânîn (aturan), dan asâlîb (gaya bahasa). Perlu
diperdalam lagi juga keilmuan kita tentang huruf[18],
kata, dan kalimat.
e.
Sebelum memberi tafsiran kepada sebuah ayat maka lihat lah
ayat-ayat lain yang menyinggung tentang ayat itu karena ini akan menolong kita
dari terpeleset pada jurang kontradiksi antara satu ayat dengan ayat, hadis
atau pokok tiang Islam yang lain.
f.
Bacaan seorang mufasir tidak hanya terbatasi pada ulumul
Qur`an, namun ada beberapa ilmu yang sering membantu memudahkan mufasir ketika
menafsiri al-Qur’an seperti ilmu hadis, sastra dan bahasa.
g.
Meyakini dan
berpedoman bahwa al-Qur’an itu tidak menyelisi penemuan ilmiah dan ilmu-ilmu
pasti yang lain.
h.
Al-Qur’an adalah representasi dari asmaulllah al-husna, jadi
seorang mufasir dituntut untuk mengaitkan semuanya dengan nama dan sifat-sifat
Allah tadi. Agar semuanya berjalan selaras.
i.
Ketika menafsiri al-Qur’an maka bagaimana kah kita bisa
mengaplikasikan setiap ayat ada dengan
kehidupan sekarang? Semua itu membutuhkan ilmu maqâshid asy-syarîah,
hukum alam, nilai-nilai moral, dan lain-lain sehingga akan berjalan lurus.
III.
Kesimpulan dan Epilog
Inti
dari mempelajari ilmu al-Qur’an adalah supaya kita bisa menafsiri al-Qur’an
dengan benar. Al-Qur’an diturunkan di lingkungan yang berbeda. Dan juga
diturunkan pada individu, waktu, dan kondisi yang berbeda dengan sekarang.
Banyak istilah-istilah khusus pula yang digunakan oleh para ulama dalam
berinteraksi dengan al-Qur’an. Sebagai mahasiswa asing dan yang hidup 14 abad
setelah zaman wahyu, tentu kita butuh mempelajari semua itu.
Ilmu
al-Qur’an tidak muncul sekaligus dengan bentuk yang sempurna. Ilmu al-Qur’an
dengan luasnya itu dikarang oleh para ulama dengan pembahasan tematik. Ulama
dulu lebih condong menulis pembahasan-pembahasan itu lebih ke aplikasinya. Tak
jarang pula mereka menyisipinya pada buku-buku tafsir atau menjadikan
pembahasan ilmu al-Qur’an sebagai mukadimah kitab tafsirnya.
Di
masa sekarang, sudah mulai banyak kitab-kitab ilmu tafsir dengan berbagai
corak. Ada yang menulisnya dengan metode tematik namun lebih focus pada teori.
Ada juga yang mendaftarkan semua pembahasan namun sudah cukup lengkap seperti
kitab ilmu al-Qur’an karangan salah satu ulama al-Azhar Kairo, Muhammad Abdul
Azhim az-Zurqani yang berjudul “Manâhilul ‘Irfân fî Ulûmil Qur’ân dan “al-Itqân
fi Ulûmil Qur’ân” karangan salah satu ulama Yordania dengan kapasitas
menyamai Az-Zurqani.
Akhirnya
sebagai penulis pemula, saya mohon maaf akan kependekan ilmu dan tata krama
dalam pemakaian bahasa yang kurang sopan. Kritik dan saran selalu penulis tunggu-tunggu
demi peningkatan kualitas dan intelektualis ke depan. Wallâhu’alam bis shawâb.
Daftar
Pustaka
Abu, Syahbah
Muhammad Muhammad, al-Madkhal li Dirâsatil Qur’ân al-Karîm, Kairo,
Maktabah Sunnah, cet. III, 2003.
Al-Qaradhawi,
Yusuf, Kaifa Nata’âmal Ma’al Qur’ân al-Azhîm, Kairo, Dar asy-Syuruq,
cet. 7, 2009.
Az-Zarkasyi,
Badruddin Muhammad, al-Burhân fi Ulûmil Qur’ân, Kairo, Dari al-Hadis,
tc, 2009.
Az-Zurqani,
Muhammad Abdul Azhim, Manâhilul ‘Irfân fi Ulûmil Qur’ân, Kairo, Dar
as-Salam, cet. III, 2010.
Darraz, Muhammad
Abdullah, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm, Kuwait, Dar al-Qalam, cet. 5,
2003.
Muhammad, Ali
Jum’ah, Wa Qâla al-Imâm al-Mabâdi’ al-‘Uzhmâ, Kairo, al-Wabil
ash-Shayyib, cet. 1, 2010.
Al-Qaththan,
Manna, Mabâhist fî Ulûmil Qur`ân, Kairo, Maktabah Wahbah, cet. 17, 2007.
Lasyin, Syahin
Lasyin, al-La’âli` al-Hisân fi Ulûmil Qur`ân, Kairo, Dar asy-Syuruq,
cet. I, 2002.
[1] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’al Qur`an
al-Azhim, Kairo, Dar asy-Syuruq, cet. 7, 2009, hlm. 461-462.
[2] Dr. Ali Jum’ah Muhammad, Wa Qala al-Imam al-Mabadi`
al-‘Uzhma, Kairo, al-Wabil al-Shayyib, cet. I, 2010, hlm. 13.
[3] Kesemuanya ini adalah beberapa dari
tujuan-tujuan al-Qur’an diturunkan menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya
“Kaifa Nata’amal Ma’al Qur`an al-Azhim”.
[4] Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani, Manahilul Irfan,
Kairo, Dar as-Salam, cet. III, 2010, hlm. 11.
[5] Menurut istilah ulama ahli hikmah, ilmu adalah diskripsi
sesuatu yang ada pada akal. Ulama ilmu kalam mendefinisikan ilmu adalah sifat
yang menyebakan sesuatu menjadi nampak jelas. Ulama syariat secara umum
mendefinisikan ilmu adalah mengetahui
Allah dan ayat-ayat-Nya serta perbuatan Dia Sedangkan golongan Meterialistik
mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan pasti yang dihasilkan oleh panca indra
semata.
[6] Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani berpendapat bahwa
pembahasan biografi (tokoh) juga masuk dalam definisi ilmu karena dalam
disiplin ulumul hadis, ada pembahasan tersendiri mengenai tokoh-tokoh periwayat
hadis. Begitupula Sa’duddin at-Taftazani berpendapat bahwa selain ilmu itu
membahas pada tashdiqat, ada juga ilmu yang membahas tashawwurat. Maka
dari sini Muhammad Abdul Azhim az-Zurqani menyimpulkan bahwa ilmu menurut ulma
disiplin ilmu umum itu mencakup pengetahuan-pengetahuan yang tersusun dengan
satu tatanan baik objek pembahasannya sama atau tujuannya, baik pembahasannya
itu tashawwur atau tashdiq.
[7] Al-Qur’an memilik nama-nama lain.
Yang terkenal itu ada 4 yaitu al-Furqan, al-Kitab, adz-Dzikr, dan at-Tanzil.
Namun sebenarnya nama-nama al-Qur’an melebihi 90 nama. Ini berdasarkan pada
ayat-ayat yang sering kali menyebutkan nama-nama al-Qur’an seperti surat
al-Waqi’ah ayat 77, (إنه
لقرآن كريم)
dan surat al-Anbiya ayat 50 (هذا ذكر مبارك أنزلناه).
Lihat karya Dr. Musa Syhin Lasyin yaitu al-La’ai al-Hisan fi Ulumil Qur’an
halaman 12. Namun beberapa ulama seperti Mannad al-Qathan dalam kitabnya
Mabahis fi Ulumil Qur’an menjadikan Mubarak dan Karim itu sifat dari al-Qur’an
dan bukan nama. Selain dua sifat itu juga ada Nur, Huda, Rahmah, Mauizhah,
Syifa, Mubin, Busyra, Aziz, Majid, Basyir, Nadzir. Lihat Mabahis fi Ulumil Qur`an halaman 18
cetakan Maktabah Wahbah ke-14 2007.
[8] Al-Qur’an jika dilihat sebagai kalam nafsi bil ma’na
al-mashdari dan al hashil bil mashdar maka sudah tentu alam syakhsi. Sedangkan
kalau yang dimaksud adalah kalam lafzhi maka para ulama berbeda pendapat.
Apakah alam syahsi atau bukan. Pendapat yang menguasai adalah bahwa al-Qur’an
alam syakhsi yang ditunjukan dengan ayat-ayat.. namun biar lebih jelas, penulis
sebutkan 3 pendapat tentang hal ini;
1. Pendapat yang mengtakan bahwa al-Qur’an itu
alam syahsi yang ditunjukan dengan ayat-ayatnya. Untuk itu maka definisi
al-Qur’an di atas itu bukan definisi secara hakiki. Definisinya hanya sekadar
pembeda dengan kitab-kitab lain Allah seperti Taurat dan Injil.
2.
Pendapat kedua mengatakan bahwa al-Qur`an itu kata yang diletakan untuk qadrun
musytarak antara semua isi al-Qur`an dan sebagiannya seperti musytarak
ma’nawi. Maka jika ada orang yang baca surat al-Fatihah, dia sudah dianggap
membaca al-Qur`an.
3.
al-Qur`an itu kata berjenis musytarak lafzhi, maksudnya dari awal
peletakkannya memang sudah memiliki dua makna atau lebih, yaitu makna semua isi
al-Qur`an atau sebagiannya saja.
[9] Dua alasan mengapa ulama ilmu kalam memandang al-Qur`an
sebagai kalam nafsi;
a.
Karena
al-Qur`an itu nama khusus dan berbeda dengan kalam-kalam Allah lainnya.
b. Karena al-Qur`an itu sifat Allah yang
qadim sehingga harus berupa kalam nafsi.
[10] Kalam disini hanya berupa diskripsi dan fenomena dari
kata-kata hukum yang azali.
[11] Ini hanya dilihat bahwa pahatan itu hanya sebagai perantara
untuk menerjemahkan kalam Allah yang terdahulu.
[12] Walaupun pendapat yang kuat bahwa al-Qur’an itu alam
syahsi, namun bagaimanakah jika alam syakhsi itu didefinisikan? Bukankah alam
syahsi tidak butuh definisi? Az-Zurqani menjawab dengan 3 jawaban sebagai
berikut;
a.
Alam
syahsi bisa didefinisikan namun hanya sekedar sebagai pembeda dari yang
lainnya. Bukan untuk mendefinisikan ke-shaysiyahan-an alam tersebut.
b. Definisi yang disebutkan itu hanya
sekedar batasan pembeda.
c.
Menurut
para ahli ushul fikih, boleh saja mendefinisikan alam syahsi, berbeda dengan
ahli mantik.
[13] Definisi ini mencakup semua kerakteristik dan keistimewaan
al-Qur`an yang mecakup I’jaz, tanzil, kitabah, naql, dan ta’abbud.
[14] Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li
Dirasatil Qur`an al-Karim, Kairo, Maktabah as-Sunnah, cet.II, 2003, hlm. 26.
[15] Abu Bakr bin al-Arabi mengatakan bahwa ilmu al-Qur’an
mencakup 77450 pembahasan. Ini berlandaskan jumlah kata-kata al-Qur`an dikali
4, karena setiap kata dalam al-Qur`an memiliki zhahir dan bathin serta had dan
math’la. Dan bahkan jika ditelisik dari segi susunan kalimatnya maka
pembahasannya tak terhitung. Lihat Qanun at-Ta`wil karya Abu Bakr bin
al-Arabi, al-Burhan karya As-Suyuthi, Manahilur Irfan karya
az-Zurqani.
[16] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, op.cit., hlm.
32-33.
[17] Para ulama berselisih tentang makna ayat-ayat mutasyabihat
dan muhkamat, namun penulis lebih condong bahwa ayat muhkamat itu yang sudah
jelas arti ayat tersebut sehingga tidak berpotensial menimbulkan perselisihan
ulama, sedangkan mutasyabihat itu yang tidak jelas artinya dan sering kali memicu
perselihan dan bahkan permusuhan antara umat Muslim.
[18] Huruf ada dua macam, yaitu huruf mabani (penyusun) dan
ma’ani (bermakna). Huruf mabani adalah huruf hijaiyah dari alif sampai yang
berjumlah 28. Dan sebelumnya dikenal ada
huruf Abjad. Sedankan huruf ma’ani, ada yang terdiri dari satu huruf seperti
huruf wawu, fa, ba, ta, dan lain-lain.huruf ma’ani yang terbanyak terdiri dari
5 huruf yaitu “lakinna”. Setelah di cek ternyata huruf ma’ani berjumlah 90,
yang masing-masing bisa memiliki lebih dari satu makna. Setelah diteliti
makna-makna semua huruf itu mencapai 56 makna. Hanya sekitar 34 huruf yang
mendapatkan kehormatan untuk disebutkan dalam al-Qur’an. Lihat Mughnil Labib
karya Ibnu Hisyam.